Home » , , , » Cak Nun: Agama Kok Departemen

Cak Nun: Agama Kok Departemen

Written By Unknown on Rabu, 22 Januari 2014 | 07.07

KALAU kita memegang tongkat kekuasaan, di level mana pun, biasanya ada empat hal yang mengejar-ngejar hati kita, mengendalikan perasaan, mempengaruhi perilaku --dan akal pikiran diperbudak oleh desakan emosi itu, untuk berkonsentrasi pada keempat hal tadi.

Yakni, pertama, bagaimana supaya tidak kehilangan kekuasaan. Kedua, bagaimana bisa memperpanjang kekuasaan. Kedua hal ini melahirkan yang ketiga: bagaimana menghimpun modal sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, agar kekuasaan bisa dipertahankan --siapa tahu tiba-tiba muncul angin badai yang mengguncang kita dari kursi. Juga muncul yang keempat: di samping menumpuk modal, juga harus peka pada setiap momentum untuk bisa cari muka kepada rakyat dan semua pihak dalam kehidupan bernegara.

Hal-hal mengenai kehidupan rakyat, itu soal gampang dan bisa disepelekan. Sudah terbukti, selama sekian periode kekuasaan, dan tampaknya kita yakin belum ada perkembangan mendasar pada rakyat --sehingga sampai beberapa tahun lagi, insya Allah, rakyat masih bisa dikibulin. Tidak ada infrastruktur apa pun pada sosiologi politik kerakyatan kita, yang mampu menghalangi proses mempertahankan kebodohan rakyat. Kalau ada satu-dua kelompok aktivis berpikir dan berteriak tentang revolusi, anggap itu refrein sebuah lagu --toh, akhirnya nyanyian harus kembali ke bagian awal.

Rakyat tidak punya modal apa pun untuk melakukan revolusi, kecuali direkayasa untuk menciptakan adegan yang seolah-olah revolusi, kemudian dilegitimasi oleh bagaimana media memotretnya. Prestasi puncak kita sebagai rakyat adalah amuk dan kerusuhan. Cobalah Anda melingkar dalam satu kumpulan yang plural, terdiri dari suku apa pun, agama dan kelompok apa pun, juga tingkat pendidikan dari yang paling rendah sampai paling tinggi. Lalu, masing-masing orang Anda kasih benda-benda yang bisa menghasilkan bunyi kalau dipukul, entah ember, kentongan, kayu, atau apa pun. Kalau Anda meminta mereka membunyikan benda-benda itu, hasilnya adalah kothekan, ritme-ritme pukulan seperti kuda lumping atau jaran kepang yang dikuasai suasana in-trance. Mabuk. ndadi, alias mengamuk.

Kalau seni tradisi Aceh, suasana ndadi-nya sangat solid, tapi rata-rata musik dan tari mereka berakhir dengan black-out. Progresivisme masyarakat Aceh hanya bisa berhenti dalam keadaan mendadak atau semacam dipaksa berhenti. Kesenian Jawa yang "bebudaya" tidak memiliki situasi ndadi yang progresif, terlalu tertata dan tidak revolusioner. Jawa yang progresif hanya yang "primitif", kuda lumping: seakan-akan itu entakan-entakan revolusioner, padahal sesungguhnya mengamuk.

Kebaikan pun seringkali diaplikasikan secara ndadi. Menteri Agama kita yang harus menyesuaikan diri dengan "habitat Jawa" ndadi begitu melihat peluang yang baik dan penuh kemuliaan untuk menolong rakyat. Hanya orang ndadi yang tertutup ingatannya tentang tata hukum, pilah-pilah birokrasi, dan prosedur. Tradisi ndadi dalam berbuat baik sudah jamak dalam masyarakat kita. Naik haji dianggap pasti baik meskipun memakai uang tidak halal. Makin banyak naik haji, disimpulkan makin saleh pelakunya meskipun tetangga-tetangganya mlongo dan belum tentu bisa makan. Sehingga diperlukan eksplorasi dan ijtihad fikih Islam yang mempertimbangkan inter-relasi antara ibadah dan kondisi-kondisi sosial --sehingga akal sehat akan menemukan posisi hukum naik haji bisa wajib, sunah, halal, makruh, dan haram. Kecuali, Islam mengizinkan individualisme dan tidak meniscayakan substansi kejamaahan global.

Alhasil, seandainya hukum negara mengharuskan Menteri Agama diadili, yang diperlukan adalah saksi ahli bidang psikologi sosial yang mampu menjelaskan tentang fenomena ndadi, yang berarti suatu jenis ketidaksadaran tertentu. Ada kemungkinan, beliau lolos dari hukuman. Bahkan, siapa tahu, hampir semua pemimpin kita sebenarnya ndadi, sehingga pada hakikatnya mereka tidak salah. Ini alasan yang jitu untuk saling memaklumi. Apalagi, Pak Hakimnya ternyata juga ndadi
.

Negara kita sendiri memang sudah ndadi sejak dari sono-nya. Makanya, yang perlu diamandemen bukan hanya UUD 45, melainkan juga struktur otak dan metodologi pemahaman kita sendiri. Lha bagaimana, wong agama kok departemen. Kalau memang agama mau dilegalisasikan dan diformalkan, letaknya merangkum, bukan menjadi bagian. Jadi, mending agama disemayamkan di akal dan hati sajalah. Atau Anda semua monggo-monggo saja kalau mau meninggalkan agama. Tuhannya kan Allah, bukan Anda atau saya, jadi biar Beliau yang mengurusi akibat dari pilihan kita.

Departemen Agama tak usah dibubarkan, cukup direndah-hatikan menjadi "Departemen Sarana Peribadatan", misalnya. Yang mencemaskan adalah kalau kasus harta karun ini bukan ndadi, melainkan politik yang sadar. Kita tak akan pernah tahu, sebenarnya Bu Mega menyuruh atau tidak. Pernyataan sih tidak. Tapi, politik itu kan bau kentut: kita hanya mendengar bunyinya dan menghirup baunya, tidak tahu kenapa kok kentut, kenapa yang kentut si A kok bukan B, makan apa kok baunya begitu, kenapa kentutnya kemarin kok tidak besok?

Sudah lama rakyat bingung mendengar Dana Revolusi, Dana Nusantara, sertifikat di Bank Swiss, uang Brasil, lempengan emas dan platinum di Nusabarong, Bengkulu, Ungaran, Jember, Labuhan, Cipanas, Bekasi, Mbah Kartosuwiryo masih hidup di pantai Cilacap.... (Repositori Emha Ainun Nadjib)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Pencari Hakikat - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger