Terkadang Tuhan meletakkan rahmat-Nya di tempat-tempat yang sama sekali
tidak menarik bagi manusia. Terkadang Tuhan menyembunyikan anugerah-Nya di
balik momentum yang tak terduga oleh siapa pun. Terkadang Tuhan melakukan
penyelamatan, memberikan rizki, serta menjanjikan rahasia-rahasia, di
belakang suatu kejadian yang seakan-akan bernama musibah atau kecelakaan.
Beberapa hari saya di Jakarta, saya menjumpai berbagai kenyataan dan gejala
di mana Tuhan "menyembunyikan barang berharga di tempat yang sepele dan
tidak kentara".
Saya didatangkan ke berbagai tempat untuk dijadikan "keranjang sampah'' bagi
uneg-uneg, keluhan, protes, tetapi juga semangat perjuangan. Sejumlah
direktur perusahaan, pengusaha, dan tokoh-tokoh profesional yang hidupnya
selama itu dikategorikan jauh dari wilayah-wilayah keagamaan, spiritual,
atau moral sosial, berpidato panjang di depan saya, mengucapkan berbagai
gagasan yang sebenarnya sangat tepat untuk diucapkan dalam khotbah Jum'at.
Saya bertemu dengan ghirrah agama di tengah pasar kapitalisme. Saya bertemu
dengan kerinduan yang menggebu-gebu kepada Tuhan dan nurani kemanusiaan di
tengah suasana-suasana yang selama ini kita asumsikan terdiri atas nafsu,
kebinatangan, dan keserakahan. Saya berjumpa dengan siratan ayat-ayat Allah
di tengah atmosfer kehidupan kota metropolitan yang selama ini kita sepakati
sebagai dunia yang hanya berisi materialisme, takhayul konsumsi, hedonisme,
dan kemubadziran.
Min haitsu la yahtasib. Jatuh dan bangkitnya nilai, gelap dan terangnya
keadaan, jauh dan dekatnya para hamba kepada Allah, naik turunnya kemesraan
dengan Sang Pencipta, berlangsung tidak pada ruang dan waktu yang bisa kita
perhitungkan. Selalu saja Allah menginvestasikan sesuatu yang tak pernah
diduga-duga oleh siapa pun. Innaka la tahdi man ahbabta, wa-la-kinnallaha
yahdi man-yasya'. Sesungguhnya engkau tak akan pernah sanggup memberi
petunjuk kepada siapa yang kau kehendaki untuk mendapatkan petunjuk,
melainkan Allah yang Maha Sanggup menghidayahi siapapun saja yang
dikehendaki-Nya.
Saya mencoba menarik garis dari snapshot keadaan yang sekilas itu kepada
sejumlah titik. Pertama, kalau kaum muslimin berbicara tentang kebangkitan
Islam, asosiasi utama yang muncul di benak mereka adalah semaraknya
tempat-tempat ibadah, membengkaknya komunitas-komunitas religius,
meningkatnya akses orang Islam terhadap struktur sejarah, dan sebagainya.
Dengan kata lain, kebangkitan Islam dibayangkan terutama bermula dari
kantong-kantong kultur agama. Yang ingin saya catat di situ adalah kenyataan
yang berbeda: justru dari tengah dunia yang penuh nafsu, kerakusan, dan
kebinatangan lahir tetesan-tetesan uluhiyah. Dari sub-kultur metropolitan,
muncul kelahiran baru kesadaran beragama. Dari lingkungan-lingkungan yang
selama ini kita ketahui hanya berisi keduniaan, ternyata nongol kerinduan
keakhiratan yang lebih mendalam dan lebih dahsyat dibanding yang bisa
dirasakan di masjid-masjid.
Intensitas kerinduan keakhiratan dari daerah "rawan akhlaq", baik kultural
maupun struktural, itu terjadi justru karena cahaya itu memiliki sifat lebih
ekstrem terhadap kegelapan dibanding terhadap ruang yang tak begitu gelap.
Kalau Anda melakukan ma-lima dalam waktu lama, kemudian Anda tiba pada
kondisi taubah nashuha, maka tangisnya akan lebih mendalam dibanding tangis
orang-orang yang tak begitu punya dosa.
Mengapa kesadaran keagamaan yang lahir dari wilayah-wilayah macam ini saya
katakan di atas sangat bagus jika diucapkan misalnya sebagai khotbah Jum'at?
Karena, keinsafan keilahian itu mereka temukan dari pengalaman-pengalaman
kongkret.
Orang-orang semacam ini adalah para pekerja sejarah yang nyata. Mereka
adalah pejalan-pejalan struktural, pelaku-pelaku mekanisme kenyataan, yang
mengerti persis apa isi dunia, sehingga juga lebih memiliki pemikiran yang
strategis dan mendasar jika harus menterjemahkan konversi keagamaannya itu
ke dalam aktualisasi realistik.
tidak menarik bagi manusia. Terkadang Tuhan menyembunyikan anugerah-Nya di
balik momentum yang tak terduga oleh siapa pun. Terkadang Tuhan melakukan
penyelamatan, memberikan rizki, serta menjanjikan rahasia-rahasia, di
belakang suatu kejadian yang seakan-akan bernama musibah atau kecelakaan.
Beberapa hari saya di Jakarta, saya menjumpai berbagai kenyataan dan gejala
di mana Tuhan "menyembunyikan barang berharga di tempat yang sepele dan
tidak kentara".
Saya didatangkan ke berbagai tempat untuk dijadikan "keranjang sampah'' bagi
uneg-uneg, keluhan, protes, tetapi juga semangat perjuangan. Sejumlah
direktur perusahaan, pengusaha, dan tokoh-tokoh profesional yang hidupnya
selama itu dikategorikan jauh dari wilayah-wilayah keagamaan, spiritual,
atau moral sosial, berpidato panjang di depan saya, mengucapkan berbagai
gagasan yang sebenarnya sangat tepat untuk diucapkan dalam khotbah Jum'at.
Saya bertemu dengan ghirrah agama di tengah pasar kapitalisme. Saya bertemu
dengan kerinduan yang menggebu-gebu kepada Tuhan dan nurani kemanusiaan di
tengah suasana-suasana yang selama ini kita asumsikan terdiri atas nafsu,
kebinatangan, dan keserakahan. Saya berjumpa dengan siratan ayat-ayat Allah
di tengah atmosfer kehidupan kota metropolitan yang selama ini kita sepakati
sebagai dunia yang hanya berisi materialisme, takhayul konsumsi, hedonisme,
dan kemubadziran.
Min haitsu la yahtasib. Jatuh dan bangkitnya nilai, gelap dan terangnya
keadaan, jauh dan dekatnya para hamba kepada Allah, naik turunnya kemesraan
dengan Sang Pencipta, berlangsung tidak pada ruang dan waktu yang bisa kita
perhitungkan. Selalu saja Allah menginvestasikan sesuatu yang tak pernah
diduga-duga oleh siapa pun. Innaka la tahdi man ahbabta, wa-la-kinnallaha
yahdi man-yasya'. Sesungguhnya engkau tak akan pernah sanggup memberi
petunjuk kepada siapa yang kau kehendaki untuk mendapatkan petunjuk,
melainkan Allah yang Maha Sanggup menghidayahi siapapun saja yang
dikehendaki-Nya.
Saya mencoba menarik garis dari snapshot keadaan yang sekilas itu kepada
sejumlah titik. Pertama, kalau kaum muslimin berbicara tentang kebangkitan
Islam, asosiasi utama yang muncul di benak mereka adalah semaraknya
tempat-tempat ibadah, membengkaknya komunitas-komunitas religius,
meningkatnya akses orang Islam terhadap struktur sejarah, dan sebagainya.
Dengan kata lain, kebangkitan Islam dibayangkan terutama bermula dari
kantong-kantong kultur agama. Yang ingin saya catat di situ adalah kenyataan
yang berbeda: justru dari tengah dunia yang penuh nafsu, kerakusan, dan
kebinatangan lahir tetesan-tetesan uluhiyah. Dari sub-kultur metropolitan,
muncul kelahiran baru kesadaran beragama. Dari lingkungan-lingkungan yang
selama ini kita ketahui hanya berisi keduniaan, ternyata nongol kerinduan
keakhiratan yang lebih mendalam dan lebih dahsyat dibanding yang bisa
dirasakan di masjid-masjid.
Intensitas kerinduan keakhiratan dari daerah "rawan akhlaq", baik kultural
maupun struktural, itu terjadi justru karena cahaya itu memiliki sifat lebih
ekstrem terhadap kegelapan dibanding terhadap ruang yang tak begitu gelap.
Kalau Anda melakukan ma-lima dalam waktu lama, kemudian Anda tiba pada
kondisi taubah nashuha, maka tangisnya akan lebih mendalam dibanding tangis
orang-orang yang tak begitu punya dosa.
Mengapa kesadaran keagamaan yang lahir dari wilayah-wilayah macam ini saya
katakan di atas sangat bagus jika diucapkan misalnya sebagai khotbah Jum'at?
Karena, keinsafan keilahian itu mereka temukan dari pengalaman-pengalaman
kongkret.
Orang-orang semacam ini adalah para pekerja sejarah yang nyata. Mereka
adalah pejalan-pejalan struktural, pelaku-pelaku mekanisme kenyataan, yang
mengerti persis apa isi dunia, sehingga juga lebih memiliki pemikiran yang
strategis dan mendasar jika harus menterjemahkan konversi keagamaannya itu
ke dalam aktualisasi realistik.
Sejumlah pemikiran dan program ekstra-bisnis yang para tokoh sudah dan akan
lakukan terutama di bidang perekonomian dan pendidikan saya bayangkan
sebagai sesuatu yang selama ini seharusnya menjadi program Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah.
lakukan terutama di bidang perekonomian dan pendidikan saya bayangkan
sebagai sesuatu yang selama ini seharusnya menjadi program Nahdlatul Ulama
dan Muhammadiyah.
Bukankah institusi-institusi keagamaan kita selama itu relatif steril dari
sangat banyak permasalahan kongkret ummat dan rakyat Indonesia? Bukankah
organisasi-organisasi Islam yang besar dan kecil selama ini tidak cukup
serius merelevansikan dirinya kepada tema-tema realistik seperti perintisan
kekuatan perekonomian struktural ummat, pengolahan aset-aset ummat Islam
untuk "berperang" di tengah pergulatan sejarah yang kongkret? Sungguh,
kekuatan agama, kekuatan Tuhan, Kekuatan kebenaran dan keadilan, tidak
terutama terletak pada lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini kita anggap
paling menyangga amanat-amanat tersebut. Kebangkitan kekuatan itu bisa
justru terletak di wilayah-wilayah yang kita anggap "musuh agama". Bahkan,
tokoh-tokoh Islam bisa jadi bukanlah mereka-mereka yang selama ini kita
anggap sebagai tokoh-tokoh Islam.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.