Home » , , , » Cak Nun : Min Haitsu La Yahtasib

Cak Nun : Min Haitsu La Yahtasib

Written By Unknown on Rabu, 22 Januari 2014 | 05.56


Terkadang Tuhan meletakkan rahmat-Nya di tempat-tempat yang sama sekali

tidak menarik bagi manusia. Terkadang Tuhan menyembunyikan anugerah-Nya di

balik momentum yang tak terduga oleh siapa pun. Terkadang Tuhan melakukan

penyelamatan, memberikan rizki, serta menjanjikan rahasia-rahasia, di

belakang suatu kejadian yang seakan-akan bernama musibah atau kecelakaan.

 Beberapa hari saya di Jakarta, saya menjumpai berbagai kenyataan dan gejala

di mana Tuhan "menyembunyikan barang berharga di tempat yang sepele dan

tidak kentara".

Saya didatangkan ke berbagai tempat untuk dijadikan "keranjang sampah'' bagi

uneg-uneg, keluhan, protes, tetapi juga semangat perjuangan. Sejumlah

direktur perusahaan, pengusaha, dan tokoh-tokoh profesional yang hidupnya

selama itu dikategorikan jauh dari wilayah-wilayah keagamaan, spiritual,

atau moral sosial, berpidato panjang di depan saya, mengucapkan berbagai

gagasan yang sebenarnya sangat tepat untuk diucapkan dalam khotbah Jum'at.


Saya bertemu dengan ghirrah agama di tengah pasar kapitalisme. Saya bertemu

dengan kerinduan yang menggebu-gebu kepada Tuhan dan nurani kemanusiaan di

tengah suasana-suasana yang selama ini kita asumsikan terdiri atas nafsu,

kebinatangan, dan keserakahan. Saya berjumpa dengan siratan ayat-ayat Allah

di tengah atmosfer kehidupan kota metropolitan yang selama ini kita sepakati

sebagai dunia yang hanya berisi materialisme, takhayul konsumsi, hedonisme,

dan kemubadziran.

 Min haitsu la yahtasib. Jatuh dan bangkitnya nilai, gelap dan terangnya

keadaan, jauh dan dekatnya para hamba kepada Allah, naik turunnya kemesraan

dengan Sang Pencipta, berlangsung tidak pada ruang dan waktu yang bisa kita

perhitungkan. Selalu saja Allah menginvestasikan sesuatu yang tak pernah

diduga-duga oleh siapa pun. Innaka la tahdi man ahbabta, wa-la-kinnallaha

yahdi man-yasya'. Sesungguhnya engkau tak akan pernah sanggup memberi

petunjuk kepada siapa yang kau kehendaki untuk mendapatkan petunjuk,

melainkan Allah yang Maha Sanggup menghidayahi siapapun saja yang

dikehendaki-Nya.


Saya mencoba menarik garis dari snapshot keadaan yang sekilas itu kepada

sejumlah titik. Pertama, kalau kaum muslimin berbicara tentang kebangkitan

Islam, asosiasi utama yang muncul di benak mereka adalah semaraknya

tempat-tempat ibadah, membengkaknya komunitas-komunitas religius,

meningkatnya akses   orang Islam terhadap struktur sejarah, dan sebagainya.


Dengan kata lain, kebangkitan Islam dibayangkan terutama bermula dari

kantong-kantong kultur agama. Yang ingin saya catat di situ adalah kenyataan

yang berbeda: justru dari tengah dunia yang penuh nafsu, kerakusan, dan

kebinatangan lahir tetesan-tetesan uluhiyah. Dari sub-kultur metropolitan,

muncul kelahiran baru kesadaran beragama. Dari lingkungan-lingkungan yang

selama ini kita ketahui hanya berisi keduniaan, ternyata nongol kerinduan

keakhiratan yang lebih mendalam dan lebih dahsyat dibanding yang bisa

dirasakan di masjid-masjid.

 Intensitas kerinduan keakhiratan dari daerah "rawan akhlaq", baik kultural

maupun struktural, itu terjadi justru karena cahaya itu memiliki sifat lebih

ekstrem terhadap kegelapan dibanding terhadap ruang yang tak begitu gelap.

Kalau Anda melakukan ma-lima dalam waktu lama, kemudian Anda tiba pada

kondisi taubah nashuha, maka tangisnya akan lebih mendalam dibanding tangis

orang-orang yang tak begitu punya dosa.


Mengapa kesadaran keagamaan yang lahir dari wilayah-wilayah macam ini saya

katakan di atas sangat bagus jika diucapkan misalnya sebagai khotbah Jum'at?

Karena, keinsafan keilahian itu mereka temukan dari pengalaman-pengalaman

kongkret.


Orang-orang semacam ini adalah para pekerja sejarah yang nyata. Mereka

adalah pejalan-pejalan struktural, pelaku-pelaku mekanisme kenyataan, yang

mengerti persis apa isi dunia, sehingga juga lebih memiliki pemikiran yang

strategis dan mendasar jika harus menterjemahkan konversi keagamaannya itu

ke dalam aktualisasi realistik.
 
Sejumlah pemikiran dan program ekstra-bisnis yang para tokoh sudah dan akan

lakukan terutama di bidang perekonomian dan pendidikan saya bayangkan

sebagai sesuatu yang selama ini seharusnya menjadi program Nahdlatul Ulama

dan Muhammadiyah.


 Bukankah institusi-institusi keagamaan kita selama itu relatif steril dari

sangat banyak permasalahan kongkret ummat dan rakyat Indonesia? Bukankah

organisasi-organisasi Islam yang besar dan kecil selama ini tidak cukup

serius merelevansikan dirinya kepada tema-tema realistik seperti perintisan

kekuatan perekonomian struktural ummat, pengolahan aset-aset ummat Islam

untuk "berperang" di tengah pergulatan sejarah yang kongkret? Sungguh,

kekuatan agama, kekuatan Tuhan, Kekuatan kebenaran dan keadilan, tidak

terutama terletak pada lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini kita anggap

paling menyangga amanat-amanat tersebut. Kebangkitan kekuatan itu bisa

justru terletak di wilayah-wilayah yang kita anggap "musuh agama". Bahkan,

tokoh-tokoh Islam bisa jadi bukanlah mereka-mereka yang selama ini kita

anggap sebagai tokoh-tokoh Islam.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Pencari Hakikat - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger