Home » » Reportase Forum Merah Putih 20 Desember 2013: “INDONESIA dan PARENTAH AGENG”

Reportase Forum Merah Putih 20 Desember 2013: “INDONESIA dan PARENTAH AGENG”

Written By Unknown on Kamis, 16 Januari 2014 | 08.25


Forum Merah Putih ini adalah forum pertama kali yang diselenggarakan di Surabaya. Sebagai perbandingan, di Jakarta telah berlangsung forum serupa selama kurang lebih 2 tahun dan masih istiqomah hingga hari ini. Di Yogyakarta juga telah berlangsung selama 17 bulan yang dinamakan FGD (Focus Group Discussion) dengan jumlah peserta yang sangat terbatas, maksimal hanya 12 orang.

Sebagai pengantar, mas Sabrang mengungkapkan bahwa tujuan dari adanya forum-forum fokus seperti ini adalah untuk mencari kedalaman, sehingga peserta tidak diharapkan datang hanya untuk setor kuping, tetapi bagaimana dalam diskusi tersebut para peserta dapat bersama-sama dan sungguh-sungguh untuk menemukan kasunyatan.

Mengawali acara, mas Prayogi selaku moderator sekaligus narasumber mengucap salam kepada para peserta forum. Sebagai kalimat pembuka, pertama mas Prayogi menyampaikan agar forum ini berlanjut dan menemukan tema-tema besar yang berkelanjutan. Kedua, mas Prayogi juga menyampaikan bahwa di Malang juga sudah berlangsung Maiyah Re-Legi selama 1,5 tahun ini. Format awal acara adalah seperti FGD dengan jumlah peserta terbatas, namun seiring berjalannya waktu jumlah pesertanya ternyata bertambah banyak dan Alhamdulillah tetap bisa berjalan. Harapannya, forum merah putih kali ini segera menemukan formula yang tepat akan dijadikan seperti apa, setidaknya untuk 2-3 bulan yang akan datang. Ketiga, mengenai tema forum hari ini yaitu tentang Indonesia dan Parentah Ageng. Menurutnya, tema ini muncul dalam rangka merekonstruksi atau menghidupkan kembali Indonesia yang sedang kita jalani saat ini, apa yang sudah kita miliki di masa lalu, dan apa yang akan kita lakukan di masa yang akan datang. Kira-kira tema hari ini dalam rangka membahas dalam kaitannya dengan Indonesia hari ini.

Sejenak flashback ke masa lalu ketika Indonesia dalam masa orde lama dengan sistem politiknya, orde baru, kolonial, kerajaan, dan juga jauh sebelumnya, sesungguhnya dari situ dapat kita gali apa saja yang masih kita miliki sampai saat ini dan tidak kita miliki. Suatu misal, pada zaman Kerajaan Demak, apakah pada saat itu Raden Patah (anak Brawijaya) sebagai Raja Demak pertama bertindak sebagai penguasa tunggal yang kekuasaannya tidak terbatas ataukah dia hanya menjalankan mandat sebagaimana Pak Harto yang hanya menjalankan mandat dari MPR. Apa benar Sultan Demak hanya menjalankan mandat dari Sunan Kalijaga? Atau jika kita melihat ke Iran saat ini, Presiden Iran itu hanyalah fungsi eksekutif, sementara pemimpin tertinggi Iran adalah Ayatulloh. Selanjutnya, mas Prayogi mempersilahkan kepada para peserta forum untuk mengawali diskusi.

Parentah Ageng = Darimana Asal Katanya?

Mas Sabrang menyampaikan bahwa sesungguhnya istilah Parentah Ageng ini juga baru-baru ini ia dapatkan. Selama ini kita membayangkan bahwa kerajaan itu cenderung ke arah raja yang absolut, seperti di Eropa sehingga kemudian muncul revolusi. Pertanyaannya adalah apakah di Jawa yang notabene mempunyai kerajaan yang berjalan demikian lamanya juga berlangsung system yang demikian? Di Jawa terdapat istilah parentah ageng, yaitu bahwa sebuah undang-undang atau peraturan atau keputusan (di luar keputusan pengadilan) yang berhubungan dengan mekanisme masyarakatnya tidak boleh dibuat oleh raja sendiri. Yang berwenang adalah anggota parentah ageng yang terdiri dari raja, istri/permaisuri raja, pangeran/anak raja, ibunya raja, dan neneknya. Menurut mas Sabrang, ini adalah jawaban yang luar biasa, kita tidak pernah bermasalah dengan system kerajaan karena memang regenerasi kepimpinannya jelas. Pada setiap keputusan dari pengalaman yang tertua diambil sambil mendidik yang paling muda sehingga kebijaksanaan itu bersambung terus karena yang tua selalu mengajarkan kepada yang muda. Hal itulah yang sepertinya saat ini sudah putus.

Artinya, sebenarnya Jawa tidak pernah mempunyai kerajaan yang absolut, karena setiap keputusan dan peraturan perundang-undangan harus diputuskan melalui mekanisme parentah ageng. Tanggung jawab raja adalah mengayomi rakyat dan mengayomi alam. Mengayomi rakyat mungkin masih dengan mudah kita bayangkan, namun bagaimana dengan mengayomi alam? Dalam Islam, pernah ada suatu cerita pada zaman Khalifah Umar yang menyurati Sungai Nil karena sungai nil saat itu mengeluarkan penyakit dan bermasalah, namun setelah disurati akhirnya masalah dapat teratasi. Disitulah contoh mekanisme mengayomi alam. Tugas Patih adalah melaksanakan peraturan.

Islam, Jawa, Samawi, dan Kejawen

Sesungguhnya untuk menyambungkan Islam dan Jawa itu sangatlah mudah dan tidak jauh, sepanjang kita benar-benar memahami Islam dan Jawa secara mendalam. Kejawen itu campuran Samawi dan Jawa asli. Sehingga yang paling rancu pastilah Kejawen, karena dia tidak mengetahui akarnya dimana. Tapi kalo Jawa asli, Islam asli pasti nyambung mereka.

Parentah Ageng = Jawaban Atas Sistem Kenegaraan? Untuk menjadi seorang raja tidaklah mudah dan tidak mungkin, karena raja itu sesungguhnya dipilih oleh alam dan Tuhan. Dia harus “kewahyon”. Di Jogja, ada daerah di bawah tanah yang bahkan lebih tua dari Kraton Jogja, yang disebut “panepen”, ada 12 kamar disana. Setiap raja harus lulus di 12 kamar itu sejak kecilnya. Dimana di dalam masing-masing kamar, setiap raja harus bertapa minimal selama 40 hari. Di kamar yang gelap tanpa lampu itu, salah satu tugas raja itu adalah bagaimana ia menerangi ruangan itu dengan tubuhnya, dengan akalnya, dengan cahaya dalam dirinya. Logikanya sederhana, jika dia tidak mampu menerangi ruangan itu, bagaimana bisa dia menerangi rakyatnya dan alamnya. Jadi jika ada yang mencalonkan diri menjadi raja, sudah bisa dipastikan bahwa orang yang bersangkutan tidak faham dengan esensi dan bagaimana beratnya menjadi seorang pemimpin. Sehingga tidak dimungkinkan berkarir menjadi raja. Karena menjadi seorang raja, urusannya tidak hanya dengan sesama manusia, namun menjadi seorang raja artinya dia telah memiliki akses-akses dengan Tuhannya karena ia adalah orang yang dipilih Tuhan dan seorang raja dapat dipastikan memiliki kesadaran-kesadaran yang lebih daripada kita.

Emosi, Patrab, dan “Center”

Mas Ardi, seorang jamaah dari Pakis, Surabaya mengulang perkataan mas Sabrang pada BBW beberapa bulan yang lalu, “nek kowe durung ngerti patrabmu/dunungmu, sing penting centre’o dhisik”. Pertanyaannya adalah bagaimana metode menemukan patrab?
Mas Sabrang menimpali bahwa pada hakekatnya, semua indera itu membuat kita “merasa”. Dan “rasa” itu yang akan menimbulkan “respon”. Alat pendeteksi yang paling mudah dilihat itu yang disebut emosi. Jika kita marah, sudah bisa dipastikan bahwa ada sesuatu yang salah dalam diri kita. Sama halnya ketika ada orang yang mengatakan kita pesek kemudian kita marah. Sudah bisa dipastikan bahwa marah itu ada karena kita percaya bahwa pesek itu salah, pesek itu jelek. Dengan kata lain ada yang salah dengan pola pikir kita, sehingga kita emosi.

Emosi adalah cara berkaca pada dunia. Dunia itu seperti istana kaca, dimana itu tempat berkaca untuk melihat dalam diri kita. Jika kita emosi, itu karena ada sesuatu dalam diri kita yang tersentuh sehingga kita bisa melihat refleksi dari kita. Rasa seneng dan rasa tentrem itu berbeda. Gembira yang meluap-luap dengan ayem itu berbeda. Yang dilakukan sreg dengan terpaksa itu berbeda. Dan itu berkata sesuatu.  Mungkin kita sudah tau, tapi belum faham. Pengetahuan dan pemahaman itu berbeda. Adakalanya data sudah mendukung, namun ada yang tidak sreg. Artinya,  pengetahuan kita sudah mengiyakan, namun pemahaman kita belum. Jangan dikesampingkan informasi itu. Untuk mengetahui posisi benar/salahnya tersebut adalah dengan mengetahui posisi emosimu (“sreg”). Karena emosi adalah satu-satunya cara yang efisien untuk kita berhubungan dengan jabang bayi kita.

Setiap orang memiliki metode yang berbeda-beda dalam menentukan “center”nya. Namun fahamilah bahwa ada dimensi antara diri kita yang di bumi dengan diri kita yang di balik hijab.
Marah dengan amarah itu ketika kita dikendarai dengan nafsu. Marah tanpa amarah itu ketika kamu tau bahwa metode marah adalah metode yang paling tepat untuk memberi pelajaran pada mereka.

Kunci dalam mengenali patrab adalah, kenalilah roso-mu. Rentang waktu pikiran dan rasa itu sangatlah pendek. Ketika kau sudah berfikir iya dan tidak, maka sudah hilang sebenarnya “roso” itu, karena faham itu ada terlebih dahulu daripada tau. Dan “roso” itu tidak mungkin ngomong dua kali. Dalam bahasa Indonesia “roso” biasa disebut “hati kecil”, orang Jawa menyebutnya dengan “guru sejati”, dan kanjeng Nabi menyebutnya dengan “fatwa hati”. Istilah-istilah tersebut berbeda namun esensinya sama.

Paling mudah mendengarkan adalah ketika kita “center”. Ketika kita menyadari bahwa semuanya Tuhan, semuanya tidak ada yang positif atau negatif. Bukan tidak ada Tuhan selain Allah, melainkan hanya ada Allah. Ketika kita sudah berada pada posisi itu, maka kita dapat mendengar semuanya, tidak mudah terkendarai emosi, karena suara hati lebih keras daripada suara yang munculnya dari fikiran.

Kata hati sebagai Guidence

Mas prayogi menimpali dengan sebuah pertanyaan, “apakah sreg tadi dapat digunakan untuk mendeteksi semua hal atau tidak,  misalkan kita naksir sama seseorang nah apakah kata hati pertama ini bisa jadi referensi atau tidak? Atau contoh lain dalam konteks memilih pekerjaan apakah sudah sesuai dengan kata hati kita atau tidak. Artinya bisakah ia dijadikan pertimbangan untuk kehidupan sehari-hari.” Menurut Mas sabrang, fatwa hati atau sreg tadi  bisa jadi menjadi guidance dalam hidup dengan syarat kita harus bahwa men-gguide hidup itu tujuannya kemana. Jika kamu naksir seseorang lalu berpikir apakah orang tersebut naksir juga apa tidak, kita sreg apa tidak, itu bukanlah tujuan hidupmu. Tujuan hidupmu adalah tujuan yang lebih luas yaitu cita-cita terjauh yang ada dalam dirimu .

Misalkan dalam dirimu cita-cita terjauhnya adalah “aku ingin bertauhid kepada Allah atau aku ingi mati dalam keadaan khusnul khotimah.” Maka semua sreg dalam hatimu (Fatwa hati.Red) akan membawamu kesana ke tujuan hidupmu yang terjauh itu.
Walaupun kadang ditengah jalan kelihatan tidak enak hasilnya. Disinilah orang sering salah menilai “iki kok atiku gak pas sama hal ini, gak cocok sama itu ya..” Padahal logika  pikiran otak kita menilai sesuatu yang tidak cocok dengan sreg-ing ati ini justru yang menurut kita baik untuk kita. Tetapi kamu tidak tahu bahwa sreg-ing ati membawamu kepada cita-cita terjauhmu, bukan langkah ketigamu. Misal kamu pengen punya keluarga bahagia, terus naksir sama seseorang dan merasa sudah sreg. Ketika sudah sreg ternyata kok tidak diterima , maka kamu jangan menyalahkan sregmu tadi. Karena tidak diterima itu justru addalah proses yang membawamu kepada tujuan terjauhmu yaitu keluarga bahagia.

Mas Prayogi menyimpulkan apa yang disampaikan Mas Sabrang tadi, bahwa ternyata garis cita-cita atau garis impian inilah yang mengarahkan kita. Bahwa sreg itu membawa kita kesana. Kita sering salah menilai informasi yang disampaikan fatwa hati ini karena tercampuri oleh nafsu kita. Misal kita merasa sudah sreg dengan si A padahal yang bisa membawa kepada keluarga bahagia adalah si B, ketahuilah bahwa ternyata itu karena nafsu kita naksir sama Si A.

Lalu bagaimana cara membedakan antara Sreg atau kata hati dengan akal pikiran? Menurut Mas Sabrang, cara membedakannya adalah bahwa dalam diri kita selalu ada dua yang berbicara. Yang ada di pikiran dan yang ada dihati. Nah karena kita selalu tune dengan apa yang dikatakan pikiran maka apa yang disampaikan oleh hati menjadi tidak didengarkan. Semakin suara hati ini tidak pernah kitta dengarkan maka suaranya lama kelamaan akan semakin mengecil, tambah suwi tambah ndempis nang pojok dan makin lama tidak terdengar. Karena memang untuk melatih agar dapat mendengar suara hati ya suara pikiran kita suruh diam. Kalau dalam islam kita mengenal konsep Wukuf dimana kamu diam tidak berdoa tidak melakukan apapun dan hanya diam menunggu. Diam benar-benar diam sampai pikirannya tidak mampu mengatakan apa-apa sehingga hanya suara hati yang terdengar.

Mas Sabrang menambahkkan , metode gampang untuk membedakan suara hati dengan suara pikiran tidak ada. Hal ini karena kita hidup pada zaman dimana kita dipaksa untuk selalu memakai dan mndengarkan suara pikiran. Kita sekolah dipaksa harus memakkai otak. Kita tidak pernah dilatih untuk introspeksi, untuk diam untuk hening karena sudah tidak punya waktu lagi.

Rasulullah mengusahakan dengan kewajiban sholat lima waktu. Karena dengan kewajiban sholat lima waktu ini kita dipaksa untuk hening, untuk diam dengan dirimu sendiri selama beberapa rokaat itu lima kali sehari. Agar tidak hilang dalam hidup kita keadaan dimana kita diam dan hening. Cobalah kita di kamar tanpa handphone tanpa apapun berdiam diri selama 6 jam. Ora  fesbukan, ora twiteran ora ngecek opo opo kuat apa tidak? Pasti tidak kuat, nah apalagi mau mendiamkan otak. “Mau bagaimana? Karena memang keduanya sama sama bersuara.

Maka untuk mendengarkan suara hati harus mendiamkan otak. Jika otak masih rebut bersuara bagaimana mau mendengarkan suara hati tentu tidak bisa.” Bahkan  kalau metode orang jawa jauh lebih ekstrim, masuk ke gua 40 hari 40 malam brdiam diari tanpa bertemu siapapun.  Didalam gua samapai keadaan dimana otaknya sudah menyerah pasrah dan diam, Itulah suwung baru kemudian bisa mendengar suara hati. Untuk tahu rasanya suwung ini cobalah amati keadaan dimana kita dalam kondisi batas antara tidur dan terjaga.

Yang terpenting adalah bahwa dalam diri kita konstelasinya adda dua yang berbicara. Yang pertama adalah otak dimana yang ngedrive adalah kita yang dibumi. Dan yang kedua adalah Roso dimana yang ngedrive adalah kita yang dibalik hijab. Sama sama kita tetapi yang dibalik hijab dia ada diatas bukit, sedang yang satunya adalah kita yang erada dilembah yang kita tidak tahu satu kilometer di depan kita ada apa. Sedangkan yang diatas bukit tahu petanya karrena ia diatas bukit. Dua-duanya samasama menentukan mau kemana tujuan kita. Yang diatas bukitlah yang nyetir lewat ati atau roso itu tadi.

Mekanisme Syukur : “Tuhan Maha Memberi ……………”
Tidak ada hal di dunia yang keberadaannya itu positif atau negatif. Maksudnya begini kalau ada api, dia bisa positif atau negatif. Hujan bisa positif atau negatif. Rasa malas pun demikian. Tidak ada kata yang mempunyai arti positif atau negatif dengan sendirinya. Dengan kata lain, kita sendirilah yang memiliki hak 100% untuk menentukan sesuatu itu positif atau negatif. Yang terpenting adalah bagaimana melihat segala sesuatu di luar kita dengan positif. Bagaimana langkahnya? Pertama, tentunya sabar, dimana kita masih menganggap itu negative tapi kita berusaha sabar. Kedua, berprasangka baik. Ketiga, yaitu syukur.
Puncak dari pengetahuan adalah membenarkan. Puncak dari membenarkan adalah mengikhlaskan. Dan puncak dari mengikhlaskan adalah menafikkan.

Sreg itu adalah ketika kita masih melihat ada kasar ada halus. Ada cocok ada tidak cocok. Ketika seseorang sudah ikhlas dan melihat semuanya adalah Tuhan, maka sudah tidak ada lagi sreg atau tidak sreg. Karena hidup itu sendiri pada intinya ya menjalani. Kalau bicara sreg atau tidak sreg, itu kan kaitannya dengan metode awal untuk mencapai tujuan yang kita proposalkan pada Tuhan.

Syukur itu kunci dari semua hal. Mekanismenya sederhana yaitu “Tuhan Maha Memberi….. (isi sendiri titik-titik berikut)”. Ketika kita sudah mampu bersyukur, maka semua hal yang kita isikan pada titik-titik tersebut adalah segala hal yang positif.

Ketahuilah bahwa tidak ada negasi dari sebuah rasa. Rasa selalu menggunakan kata sebagai kata-nya itu sendiri. Rasa sebagai rasa-nya itu sendiri. Yang dimaksud anti kekerasan itu justru kekerasan itu sendiri. Oleh karenanya jika mau bicara “anti kekerasan” ya lebih baih bicara kedamaian, kebaikan. Pilih kata-kata yang tidak menggunakan “tidak”.

Kegagalan adalah kesuksesan yang tidak terjadi. Akuilah bahwa kamu gagal. Kegagalan bukanlah sesuatu yang hina. Justru dengan adanya kegagalan, kita bisa belajar lebih banyak.

Parentah Ageng dan Indonesia Hari Ini

Mas Sabrang menyampaikan, ”Kalau saya mikir Indonesia, saya takut salah posisi. Saya tdk diberi tanggung jawab itu. Dan saya mikir sesuatu di luar fasilitas yang diberikan Tuhan. Yang bisa saya lakukan sebagai anak muda adalah belajar sebanyak-banyaknya. Kalau di parentah ageng, kita saat ini berposisi sebagai pangeran/anak raja. Karena yang memegang Indonesia saat ini adalah raja-raja dan mbah-mbah buyut kita
Beliau juga menyampaikan bahwa pernah menulis tentang “Generasi Mandiri”, dimana ia mengusulkan untuk memutuskan generasi saat ini. Karena tungku yang dipakai oleh bapak-bapak kita saat ini untuk memasak generasi berikutnya adalah tungku yang rusak, produknya pasti rusak, kecuali kita bisa memutus, punya tolak ukur sendiri, pertimbangan sendiri yang benar-benar murni dari mereka.

Yang bisa dilakukan saat ini adalah mempersiapkan diri dengan belajar setau mungkin sebanyak mungkin, dan sepintar mungkin, sehingga jika suatu hari diserahi sesuatu, kita sudah siap. Namun kalaupun tidak, ya tidak masalah kita sudah bathi sinau.

Matematika Kesadaran

Kalau kita bicara dosa, maka hitungannya linier. Kesalahan satu dihitung dosa satu. Namun jika kita kita bicara pahala, kebaikan satu pahalanya bisa berlipat-lipat. Begitu pula dengan kesadaran dan pengetahuan. Satu orang berfikir baik dinilai nol. Dua orang berfikir baik dinilai satu. Tiga orang berfikir baik dinilai dua. Empat orang berfikir baik dinilai empat. Lima orang berfikir baik dinilai delapan. Enam orang berfikir baik dinilai enam belas. Jadi peningkatannya geometrik. Jauh lebih cepat dengan mereka yang berfikiran buruk.
Tidak usah mikir jauh-jauh tentang ndandani Indonesia. Cukup definisikan apa yang tidak kau sukai dengan Indonesia dan apa yang tidak kau sukai dengan pemimpinmu. Dan berjanjilah seumur hidup tidak akan menjadi seperti itu. Ketika seluruh anak muda saat ini mau berikrar seperti itu, dan ketika generasi sudah waktunya berganti, maka kita akan “lahir” sendirinya sebagai generasi yang baru.

Kembanging Jagad

Mas Ali dari Nganjuk me-review ulang apa yang telah disampaikan mas Sabrang ketika BBW beberapa bulan yang lalu, dimana saat itu diceritakan tentang seseorang yang belajar sungguh-sungguh untuk bermain drum, dan tidak pernah disangka-sangka bahwa suatu hari ia menjadi drummer yang hebat. Hal itu sebenarnya juga bisa diaplikasikan pada kondisi kita saat ini, dimana yang terpenting adalah bagaimana kita mempersiapkan diri saat ini dan belajar sebanyak-banyaknya tanpa perlu berpikir “jadi” apa kita nantinya. Selanjutnya, mas Ali menanyakan kepada mas Sabrang berkaitan dengan kembanging jagad.

Kembanging jagad sesungguhnya dimulai dari bagaimana menerjemahkan logika penciptaan dari geometri. Karena logikanya benar, maka termanifestasi dalam alam semesta. Ada kembanging jagad, wohing jagad, winih kembang, sampai pohon jagad. Dalam ilmu manusia, basic segitiga pertama yaitu namanya gramatikal, retorika dan logika. Setelah lulus, baru kemudian ke segiempat yaitu angka, astronomi, geometri, dan musik. Semua skala/rasio musik yang ada di dunia saat ini sesuai dengan kembanging jagad, begitu pula dengan bentuk-bentuk lain yang ada di alam semesta ini. Sehingga tidak benar kalau para ilmuwan barat itu tidak percaya klenik, karena sesungguhnya mereka justru mendasarkan semua ilmunya pada bentuk dasar kembanging jagad (ilmu yang disembunyikan).

Ilmu modern mengatakan bahwa inti bumi adalah magma yang berputar. Sedangkan Jawa menyebutnya “antaboga”. Ilmuwan barat melihat alam sebagai obyek, sedangkan masyarakat Jawa melihat alam sebagai subyek, sehingga naluri manusia dengan alam itu ber-partner, bukan memanipulasi.

Kembali ke Parentah Ageng

Dalam setiap sistem kepemimpinan selalu ada cara kepemimpinan. Sama halnya dalam demokrasi, dimana ada lembaga legislatif, baik DPR, senat, dan sebagainya. Begitu pula Parentah Ageng, itu intrinsik ada dalam setiap kerajaan-kerajaan di Jawa. Output dari parentah ageng adalah keputusan atau undang-undang yang kemudian dilaksanakan oleh Patih-nya. Sehingga tidaklah mungkin raja-raja di Jawa itu berkuasa secara mutlak.

Akar pendek tidak akan menghasilkan pohon yang tinggi. Pada intinya adalah pelajari Jawa sampai ke akar-akarnya. Bagaimana kita bisa tau tumbuh kemana pohon kalau kita tidak tau akarnya. Dalam Serat Centini, bangsa Jawa sudah membahas tentang kitab suci Nabi Nuh terdiri dari 20 jilid, sholatnya 1 hari 40 kali, dan sebagainya. Diceritakan pula tentang Nabi Ibrahim. Tentang Baitul Maqdis pun juga sudah diceritakan oleh Ronggowarsito dalam bukunya.

Selanjutnya, salah seorang peserta forum menjelaskan bahwa dalam kasta Jawa, raja ada pada posisi Ksatria, yang dikonotasikan sebagai seorang yang arif dan bijaksana. Di atas raja ada Brahmana, yang mana semua kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh raja. Manakala kerajaan dalam keadaan darurat/pagebluk, seorang raja akan masuk ke sanggar pamujan (zaman Majapahit), dan bertapa/menepi di tempat itu sampai mendapat jawaban. Kemudian jika dikaitkan dengan parentah ageng, kok sepertinya berbeda? Lebih lanjut, bahwa kalau melihat zaman Syailendra sampai dengan Mataram sepertinya tidak ada yang bertahan lama. Pertanyaannya, parentah ageng mana yang ideal dibicarakan saat ini mengingat saat itu di Jawa juga sempat terjadi kudeta berkelanjutan?

Menanggapi hal tersebut, mas Sabrang pertama-tama meluruskan terlebih dahulu bahwa Brahmana tidak dihidupi Ksatria. Brahmana menghidupi dirinya sendiri karena itu justru kodenya sebagai seorang Brahmana. Ketika kita berbicara kasta-kasta itu sebenarnya juga tidak rigid seperti itu. Itu hanyalah bahasa sejarah.
Parentah ageng tidaklah eksklusif. Di luar itu, mereka juga punya penasehat-penasehat yaitu para Brahmana yang terdiri dari raja-raja terdahulu. Dalam rapat, memang yang memiliki hak untuk memutuskan adalah kelima anggota itu, namun di luar itu mereka tetap berguru pada penasehat-penasehat yang diikutinya. Mereka meyakini bahwa “jalur” yang semakin banyak dapat menghasilkan hasil keputusan yang komprehensif. Raja harus memiliki akses dengan paroki ageng, karena itu merupakan bagian dari pelatihannya menjadi raja sejak kecil.

Terakhir, sebagai kalimat penutup, mas Sabrang menyampaikan harapannya agar forum seperti ini segera ditentukan formulanya jika ingin dilaksanakan secara kontinyu. Format dan fokusnya pun ditentukan secara jelas. Tidak perlu dengan topik yang muluk-muluk bagaimana ndandani Indonesia, cukup bagaimana ndandani diri sendiri dan keluarga dengan harapan dapat menjadi tonggak dan cahaya bagi perubahan sekitarnya.

Acara ditutup tepat pukul 17.15 dan diakhiri dengan doa dipimpin oleh Cak Lutfi. [Red BBW/Wilda]

Sumber : http://kenduricinta.com/v3/reportase-forum-merah-putih-20-desember-2013-indonesia-dan-parentah-ageng/
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Pencari Hakikat - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger