Ada perbedaan mendasar dan sangat serius antara negara dan
pemerintah. Tetapi di Indonesia, baik dalam pemahaman konstitusi maupun
di alam pikiran para pejabat maupun umumnya rakyat, hal itu belum atau
tidak dibedakan.
Ini bukan ilmu saya, melainkan „diwuruki“ Pipit
Rukhiyat Kartawijaya, ahli pemilu (pemilihan umum) Indonesia yang sudah
lebih dari 30 tahun tinggal di Jerman, sahabat yang menampung saya 23
tahun lalu ketika menggelandang di Berlin, Jerman. Anda bisa membeli
bukunya tentang itu. Pipit sedang berada di Indonesia, diundang berbagai
partai politik untuk dimintai tolong menghitung berbagai kemungkinan
Pemilu 2009.
Di zaman kerajaan dulu, semua tanah beserta
apa yang dikandungnya dan yang tumbuh padanya adalah milik raja. Pada
1968-1982, saya tinggal di sepetak tanah pinggiran Benteng Vredeburg
yang statusnya adalah milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
dipinjamkan kepada rakyat. Kalau dibilang milik keraton, berarti milik
raja, tidak mungkin milik abdi dalem atau karyawan keraton.
Ketika
demokrasi datang, otoritas raja itu berpindah ke tangan rakyat.
Kerajaan berubah menjadi negara. Kedaulatan apa saja adalah milik
rakyat. Tapi, mustahil 220 juta rakyat jadi „raja“. Karena itu, mereka
membuat pemilu, memilih wakil-wakil, kemudian para wakil memilih
sejumlah orang yang dibayar untuk mengurusi segala yang diperlukan
rakyat dalam ketatanegaraan. Pengurus itu dijejer dari paling atas
namanya presiden, terus ke level bawahnya sampai ajudan Pak RT.
Presiden
dan seluruh jajaran pejabat birokrat adalah PRT alias pembantu rumah
tangga rakyat. Rakyat membayarnya, menyediakannya kantor, rumah dinas,
kendaraan, dan segala kelengkapan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah
adalah pihak yang dipilih, rakyat adalah pihak yang memilih. Yang
memilih lebih tinggi derajatnya dan lebih berkuasa daripada yang
dipilih. Apalagi yang membayar dengan yang dibayar: yang membayar adalah
bos, yang dibayar adalah karyawan. Rakyat adalah juragan, pemerintah
adalah buruh.
Masih ingat lagu kanak-kanak kita bersama,
Gundul-Gundul Pacul? „Gundul-gundul pacul, gembelengan..Nyunggi ngunggi
wakul kul, gembelengan…Wakul ngglimpang segane dadi sak latar…“. Pada
2003 Kiai Kanjeng mementaskan reportoar „Gundul Pacul“ di Gedung Dunia
Kementerian Luar Negeri Jerman di Berlin untuk menginformasikan hal-hal
mengenai filosofi politik NKRI.
Kalau engkau masih
kanak-kanak dan bermain bakul, silakan gembelengan dulinan sakenak udel.
Tapi, kalau sudah nyunggi wakul, jangan lagi berlaku gembelengan. Nanti
bakul terguling jatuh, nasi bertebaran memenuhi halaman rumah.
Bakul
adalah tempat nasi. Secara pemaknaan budaya dan politik, bakul adalah
perlambang kesejahteraan rakyat. Nyunggi wakul adalah meletakkan bakul
di atas kepala. Presiden sampai lurah adalah orang yang digaji rakyat
untuk nyunggi wakul. Bakul rakyat terletak di atas kepalanya. Bakul
rakyat saja sudah lebih tinggi derajatnya dibanding kepala pejabat,
apalagi rakyat.
Filosofi substansialnya begitu. Maka, seluruh
pasal konstitusi, hukum, dan aturan-aturan apa pun dalam kehidupan
bernegara mengacu pada derajat kedaulatan rakyat yang terletak di atas
kepala pejabat.
Karena itu, untuk menjadi lurah saja,
syarat utamanya adalah menyadari posisi dan derajatnya serta posisi dan
derajat rakyat yang bakulnya disunggi pejabat itu. Apalagi menjadi wali
kota. Wali kota bukan raja, melainkan abdi rakyat. Wali kota bukan bos,
melainkan karyawan rakyat. Posisi wali kota bukan yang tertinggi dalam
skala kotamadya, melainkan PRT para penduduknya.
Kesimpulannya
jelas, Mas Bambang D.H. jangan pernah menjadi Bambang gembelengan. Cak
Bambang nyunggi wakul. Rakyat tetap ada dan bisa hidup tanpa wali kota,
tapi wali kota hanya ada dan menjadi wali kota semata-mata karena ada
rakyat.
Di Pasar Turi, rakyat lokalnya adalah para pedagang,
ribuan, puluhan ribu, yang bukan hanya menjadi penghuni utama,
pemelihara dinamika pasar, pemutar uang devisa negara, tapi juga
kumpulan manusia yang berkebudayaan, beragama dengan keasyikan
masjidnya, berperadaban dengan warna warni silaturahmi di antara ribuan
orang itu. Siapakah ahlul bait Islam? Adalah keluarga Nabi Muhammad SAW.
Siapakah „ahlul sawah“? Para petani. Siapakah „ahlus-suuq“, ahlul Pasar
Turi? Adalah para pedagang yang merupakan nyawa pasar itu.
Wali
kota dan semua jajaran pekerjanya adalah orang-orang yang disayang
rakyat, dipilih, diberi gaji, dan dipercaya. Pasar Turi dan Surabaya
bukan milik wali kota, bahkan milik presiden Republik Indonesia,
melainkan milik rakyat Surabaya. Segala yang terjadi di Surabaya harus
dilaporkan, dikonsultasikan, dirembukkan dengan bos Surabaya, yakni
rakyat Surabaya.
Itu jangan disebut „rakyat harus diberi hak untuk
ikut merundingkan pengambilan keputusan pembangunan kembali pasar“,
melainkan „rakyat adalah pihak yang paling memegang otoritas untuk
menentukan pembangunan kembali pasar“.
Kantor yang
ditempati wali kota itu bukan gedung pemerintah, melainkan gedung
negara. Pemerintah tidak punya gedung, lha wong orang-orang pemerintah
saja digaji rakyat. Itu gedung negara, negara adalah aplikasi otoritas
rakyat. Esensinya: itu adalah gedung rakyat. Juga, mobil yang dikendarai
wali kota adalah mobil rakyat. Dan, apa saja di badan wali kota yang
berasal dari keuangan negara, itu adalah kepunyaan rakyat.
Tetapi,
kita memang belum punya pegawai negara, yang ada adalah pegawai negeri.
Status negara jelas menurut konstitusi. Tapi, negeri tidak jelas: kata
„negeri“ berasal dari budaya, bahkan bahasa puisi. Pegawai negeri tidak
jelas posisi hukumnya, maka ia tanpa terasa berubah menjadi pegawai
pemerintah.
Sangat berbeda antara pegawai negara dan
pegawai pemerintah. Pegawai pemerintah berada dalam garis ketaatan
kepada atasannya sesuai dengan struktur birokrasi pemerintahan.
Sementara itu, pegawai negara taat kepada konstitusi negara. Kalau
sampeyan pegawai negara di kantor wali kota, sampeyan dan wali kota
berposisi sama: wajib taat kepada konstitusi negara. Kalau sampeyan
melanggar hukum negara, wali kota wajib bertindak. Juga, kalau wali kota
melanggar hukum negara, sampeyan wajib bertindak. (*)
(Repositori Emha Ainun Nadjib)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.