Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya:
"Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?" Kemudian mereka menyebut
sejumlah nama,membandingkannya, memperdebatkannya,atau membiarkan
nama-nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai.
Atmosfer
dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa,
latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme
golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun
serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam
kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur
terhadap bangsa, tanah air, dan negara.
Itu berlangsung ya
di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda,
juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum
cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja-
meja pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih: ada yang
berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan
presiden yang sedang berkuasa. Ada yang menoleh ke kemungkinan mendulang
harapan ke pemimpin tradisional. Ada yang merapat ke pemimpin yang
pernah memimpin dan kembali mencalonkan diri. Atau kepada kemungkinan
lain: pergerakan terjadi ke berbagai arah, lama maupun baru. Dan,
semuanya selalu sangat menggairahkan.
Memiliki Pola Kearifan
Rakyat
Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu
kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan
santun yang khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam
Ibunya, Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu
kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu
saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap
lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja
menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.
Rakyat
Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut,
menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi
kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya.
Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali
mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya.
Itulah kekasih sejati.
Kekasih sejati memiliki keluasan
jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat
sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan
kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya
terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara
kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi
memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan
kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan.
Puncak kekuatan dan
cinta rakyat Indonesia, si kekasih sejati, kepada pemerintahnya, adalah
menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga jangan sampai
kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat Indonesia selalu memelihara
suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa ia
sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya. Rakyat Indonesia selalu
bersikap seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, beserta
seluruh jajaran birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu
menyembunyikan rasa sakit hatinya agar si pemerintah kekasihnya tidak
terpuruk hatinya dan merasa gagal.
Lebih dari itu, meski
sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya
lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan
daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada
menenangkan, rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya
itu, demi kelanggengan percintaannya dengan pemerintah si kekasih.
Rakyat
sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden
yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan
komplikasi masalah yang mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak
akan pernah secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja,
siapa pun dia, takkan sanggup berbuat setingkat dengan tuntutan dan
kebutuhan obyektif rakyatnya meski disertai kabinet yang dipilih tanpa
beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi
maupun tak resmi.
Begitu banyak yang mencalonkan diri
jadi presiden dan situasi itu ditelan oleh rakyat dengan keluasan
cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama, menyimpan
rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban
mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya
adalah pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin,
sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan
dibandingkan pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin
sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.
Kemuliaan kedua
yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap memilih
salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung risiko hidup yang
tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan
hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya. (Repositori Emha Ainun Nadjib)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.