Betapa tak terhitung jumlah bahasa di negeri kita, sehingga betapa
rawan pula itu semua dari disinformasi dan diskomunikasi. Bahasa
Indonesia saja ada tiga macam: bahasa Indonesia yang baik, yang benar
dan yang enak.
Berapa puluh ribu pula bahasa etnik, dengan ratusan ribu macam dialeknya.
Bahasa
Indonesia yang seolah-olah merupakan bahasa kesatuan itu terbagi lagi
menjadi bahasa politik, bahasa birokrasi, bahasa hukum, bahasa dagang,
bahasa ilmuwan, bahasa seniman, bahasa artis, bahasa pasar, bahasa
wadam, bahasa preman, juga bahasa prokem yang juga punya unikum
sendiri-sendiri di setiap daerah – ditambah lagi berkembang secara
dinamis dari generasi ke generasi.
Ambil satu contoh:
bahasa preman. Itupun harus dikhususkan segmentasinya, sebab kode-kode
bahasa preman di Medan lain dengan Makassar atau daerah lainnya.
Preman, Gali, Jeger…Kita ambil saja jaringan yang berasal dari Jawa
Timur dan Jawa Tengah – yang wilayah operasinya sampai meluas, bahkan
di Jakarta memiliki ‘propinsi kekuasaan’nya sendiri – meskipun tetap
harus diingat bahwa ada berbagai variasi-variasi bahasa di antara
mereka dalam jaringan yang sama.
Di wilayah jaringan itu kalau
dompet atau jam tangan Anda mau dicopet, atau koper Anda di kereta atau
tas Anda di bis disentuh oleh tangan jahil – Anda bisa bisikkan kepada
yang bersangkutan: “Ssssst!…Dauri, Dauri…”. Sahabat baru Anda itu akan
tersenyum kecut atau salah tingkah atau bahkan ketakutan kepada Anda.
Dauri
bisa berarti teman sendiri, atau sekaligus menginformasikan tentang
seorang preman yang sudah mapan, senior, sehingga tidak tampak,
berperilaku priyayi namun sudah makan asam garam dunia perjegeran.
Dengan Anda bisikkan kode elite itu, berarti ia mayak : ketahuan. Maka
ia diam-diam berterima kasih kepada Anda. Sebab kalau ia mayak oleh
Mbakyu – alias polisi – maka ia kagep. Ditangkap.
Sahabat
baru Anda yang tak jadi menjahati Anda itu mungkin seorang Gondes,
preman pendatang baru yang masih elementer tingkat pembelajarannya.
Atau dia seorang Bleksor, yang sudah cukup punya kemampuan dan sedang
aktif-aktifnya di jalanan. Tapi kalau yang menjahati Anda adalah jenis
Buto Kempung, penjahat picisan yang dungu ; atau apalagi sekaligus ia
juga Buto Mubal – Anda mungkin harus punya kejantanan untuk bertindak
kongkret secara fisik. Buto Mubal itu ideologinya ngeyel, salah benar
membandel dan melawan. Sudah jelas Anda yang dijahati, malah dia
komsemo, mempertengkari Anda seolah-olah Anda pencurinya. Di Jawa
Timur, seorang pemuda motornya dicuri, malah diteriaki maling, ia
dikejar-kejar massa dan dibakar hidup-hidup.
Juga Anda
pasti kalah kalau kepergok Buto Mati. Ini pakar pencuri. Takaran yang
diincarnya mahal, namun ia punya kemampuan untuk sama sekali tidak
berjejak dan tidak ketahuan. Anda pasti tahu bahwa era reformasi
sekarang ini masih punya PR yang menyangkut ratusan, mungkin ribuan
Buto Mati – yang di jaman Orba dulu menjadi tonggak kecurangan
kekuasaan sambil ngempleng – korupsi – habis-habisan, tapi tetap aman
dan leha-leha sampai hari ini, bahkan masih diwawancarai oleh media
massa.
Para koruptor yang selamat, yang bahkan tidak
kehilangan eksistensi dan nama baik – dijuluki oleh sebagian masyarakat
sebagai Kiai Bejo. Ada rumus: orang pandai kalah oleh orang kuat,
orang kuat kalah oleh orang kuasa, orang kuasa kalah oleh orang kaya,
orang kaya kalah oleh orang gila, orang gila kalah oleh orang bejo –
beruntung.
Berbagai kasus korupsi dikamuflase dengan
metode Ges: tukar barang, tukar otoritas, administrasi ganda, retorika
birokrasi – tanpa ketahuan. Dan ternyata orde sesudah reformaso tidak
kalah orba disbanding orba. Pencurian kayu hutan di sebuah kabupaten
Jawa Tengah meningkat 300% sesudah Orba.
Orba adalah
periode monopoli pencurian. Berikutnya adalah desentralisasi korupsi.
Di jaman Orba iblisnya jelas, sesudahnya iblis setan berpakaian
malaikat. Perusahaan-perusahaan besar di jaman orba kalau harus kasih
upeti, nomer rekeningnya jelas untuk dikirim tiap bulan. Di jaman
berikutnya, pembawa-pembawa rekening datang ke kantor perusahaan tak
terbatas jumlahnya, sesudah menagih selalu ada lagi yang menagih: yang
minggu lalu utusan pimpinan wilayah, hari berikutnya pimpinan daerah,
esok paginya pimpinan cabang, kemudian ranting, kemudian satgasnya,
kemudian keponakannya, kemudian temannya anaknya menantu tetangganya
Pak Anu. Terkadang saya memohon : Ya Tuhan, hendaklah negeriku ini
dipimpin oleh Firaun atau Hitler, supaya jelas peperangannya.
Reog-reog,
perampok-perampok besar, tetap merajalela di segala kelas. Sudah
sangat pandai me-lier: alias money laundring. Sangat banyak yang siap
menjadi LB: tukang tadah pengatas-namaan rekening. Modus kejahatan
resmi sudah dilakukan tanpa temi, tanpa waja, tanpa ja’tema: tanpa ragu
atau takut sedikitpun. Hasil rampokan sistemiknya kabir, bahkan kabir
get. Sangat sangat besar.
Teman-teman jual barang klitikan
atau loakan saja sangat sepi transaksi, tapi mobil-mobil mewah
meluncur kesana kemari, rumah-rumah istana kosong di sana sini, dihuni
oleh keluarga yang dibayar oleh si empunya rumah. Uang yang beredar di
lapis menengah ke bawah entah kenapa menjadi sangat sedikit. Anak-anak
kita nekad melakukan tem-teman atau njambret, memelototi kentus atau
dompet, meng-garbol alias mengambil barang dari tas, atau kalau sepi
‘transaksi’ juga ya ngecut – ambil apa saja sekenanya. Bisa botol alias
handphone, atau mal-malan, merebut pakaian orang. Apa boleh buat kalau
memang harus di-sartek, ditahan, dan masuk sarbekan, LP….
Masyarakat
eksklusif pemakai bahasa ini bukanlah orang-orang besar macam
AlCapone, Corleon, atau Raja Judi yang menguasai seluruh kota,
membungkam para pejabat dengan tumpukan leseh, yang bisa menginisiatifi
ruislag gedung ini atau tanah itu dan diberi pembenaran hukum oleh
petugas hokum. Bukan. Para preman yang saya bicarakan ini adalah para
‘penanggung dosa’ dari perilaku kejahatan ‘atasan’ mereka:
perampok-perampok struktural. Mereka harus rutin ng-leseh ke atas. Dan
kalau jumlahnya tidak memenuhi kehendak ‘atasan’nya – mereka diborgol
dan diumumkan kejahatannya. Di Koran ditulis: ditembak kakinya karena
melarikan diri.
Komunitas mereka ini memiliki tipologi
kepribadiannya sendiri, dengan jenis kesetiaan dan model kebaikan
hatinya sendiri. Kalau kita pandang sepenggal, mereka adalah penjahat.
Kalau kita pakai kamera long-shoot, mereka memiliki posisi
ketertindasannya sendiri. Mereka juga memiliki modus amarah tersendiri,
yang jika diorganisir bisa menjadi ledakan dan siksaan social. (Repositori Emha Ainun Nadjib)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.