Hanya kualitas sorang Nabi yang sanggup menampung wahyu, dan Allah
memang hanya berkenan memberikan wahyu kepada beliau-beliau yang
terpilih. Sampai akhirnya Muhammad si Pamungkas. Selebihnya hanya ada
wahyu kraton: suatu tema drama politik.
Maka anak-anak
suka bersenda gurau bahwa Jibril sejak abad VII Masehi itu jadi
penganggur. Pensiun abadi. Ada yang mebantah dengan mengemukakan bahwa
Jibril tetap being employed karena para wali atau orang-orang dengan
'radar suci' setingkat mereka tetap menerima karomah, sementara
orang-orang biasa kayak kita tetap juga memperoleh ilham.
Tidak,
kata yang lain. Untuk takaran di bawah wahyu tak diperlukan Jibril.
Untuk pekerjaan-pekerjaan kecil begitu Allah tak memerlukan organisasi
birokrasi, tukang-tukang pos atau agen penyalur. Allah bisa cukup
bilang Kun (fa-yakuun) untuk kepentingan apa pun saja.
Alangkah
samar pembicaraan semacam ini. Tak ada kerangka metodologi penelitian
model manapun yang bisa menyentuhnya. Tak tersedia kredibilitas
keilmuan manusia apapun yang mungkin menerobosnya. Apalagi ilmu-ilmu
sosial hanya pernah kenal Tuhan sebagai benda abstrak, sebagai suatu
syahdan, sebagai kemungkinan obyek yang sungguh asing sifatnya -- sebab
segala teori menjadi lawakan tatkala mendekati-Nya.
Satu-satunya
jalan disediakan justru oleh berita wahyu itu sendiri. Tetapi ini
makin tidak memuaskan manusia modern, yang canggih untuk bercuriga
terhadap dogma, yang seolah-olah sengaja membuang kemampuan-kemampuan
kejiwaannya yang tertentu yang bisa ia pakai untuk bergaul baik-baik
dengan hidayah, dengan petunjuk 'entah dari mana', dengan gudang
rahasia keilahian, dengan ketidak-mungkin-tahu-annya sendiri. Ya,
manusia modern itu -- yang sombong melebihi Musa menjelang Tursina,
yang menyangka bahwa kebenaran dan kepastian adalah miliknya yang ia
bisa rancang dan tentukan.
Pada saat yang sama,
keterbukaan terhadap gerak penghayatan atas wahyu itu amat diperlukan,
setidaknya karena manusia telah sampai pada dua gejala yang sama-sama
takabbur.
Yang pertama, manusia telah merasa mampu
menemukan sesuatu, mengadakan yang tak ada, menciptakan sesuatu, dan
berkat itu ia menjadi seniman Nobel, doktor akademik atau sarjana
kehidupan. Yang kedua berada si ekstrim lain: yang ada hanya Allah,
aku ini tak ada. Yang mutlak itu Allah, aku sekedar rekaan.
Karya-karyaku, kata-kataku, musikku, lukisanku, tak bisa kusebut
dengan ku, sebab mereka adalah kasih karya Allah semata.
Jadi,
kalau kita membaca karya itu, kita membaca karya Allah. Kalau kita
dengarkan ia baca puisi, itu puisi Allah. Kalau kita nonton pameran
lukisannya, kita nonton lukisan Allah.
Maka ia
mengemukakan kepadaku iman dan konsep mengenai pinjaman ilmu dan harta
benda Allah kepada manusia -- sebagai mana ia mengemukakan hal yang
sama ketika kutanyakan kepadanya apa omongan Islam tentang falsafah
hak milik dan distribusi ekonomi yang dewasa ini amat dicemaskan oleh
kaum sosialis-marxis.
Itu moralitas Allah.
Seandainya
saja kita berhasil memiliki suatu pola pendidikan yang memungkinkan
terwujudnya iman dan konsep itu dalam diri manusia, maka usaha proyeksi
dan sistemasinya ke dalam organisasi-organisasi kebersamaan manusia
tinggal 'sekunder'. Tetapi sejarah telah harus mengandaikan manusia
seperti 'maling' yang -- tentu saja tak bisa dipercaya, sehingga harus
diciptakan pagar-pagar yang berlebihan. Sistem yang mengatur manusia
bersifat substansial, dan manusia berada secara instrumental. Kita
adalah gerombolan ayam, memperoleh taburan jagung dari tangan manusia,
jago-jago memonopoli taburan itu karena mereka memang 'tak tahu menahu'
tentang moralitas tangan manusia yang menaburkan jagung. Perlawanan
ayam-ayam lain terhadap jago-jago selalu berupa menyingkirkan atau
menumpas jago-jago, atau menggantikan kedudukan jago-jago.
Demikian
'psikologi perlawanan' yang sejauh ini berlangsung: apirasi terhadap
apirasi, ideologi politik terhadap ideologi politik, kelas terhadap
kelas, bahkan kaum wanita terhadap kaum lelaki. Sumber kecenderungan
ini ialah karena jagung itu dipandang secara a-historis. Tak
dipersoalkan secara tuntas dari mana jagung tertabur, dan apa moralitas
esensial yang terkandung di balik taburan jagung itu. Dengan kata
lain, orang makin tak kenal kepada jiwa wahyu.
Maka ia
mengemukakan kepadaku Jibril tidak pensiun. Wahyu Allah bukan sebuah
dongengan purba. Cahaya Allah tak berhenti memancar. Ilmu Tuhan terus
menerus berseliweran. Muhammad tidak mati. Sungguh tidak mati. Hanya
tubuh beliau yang sudah dikuburkan -- dan tubuh beliau adalah bagian
yang paling remeh dari eksistensi kepribadiaannya yang menyuluhi alam
semesta manusia. Wahyu yang beliau terima dari Allah pun terus bekerja.
Sudah sempurna tapi belum selesai, karena ia akan menemukan kelahiran
dan kelahirannya kembali di dalam iman dan kesadaran ummatnya.
Bahwa
pada Muhammad disebut wahyu itu berakhir, artinya ialah jatah ilmu
pengetahuan dasar anugerah Allah bagi manusia berpuncak di wadah
Muhammad. Segala yang kita sebut prestasi akal, ilmu dan teknologi
dahsyat yang dicapai manusia sesudahnya, telah terdapat benih-benihnya
dalam al-Quran --meskipun selama ini kita menyebut-nyebut hal itu
sekedar untuk hibur-hiburan pasif agar meperoleh kepercayaan diri
sebagai ummat. Allah tidak mengkursus kita bagaimana bikin rantai dan
pedal, tetapi kualitas fenomena kendaraan sepeda telah
ditunjukkan-Nya. Apapun yang kelak digapai oleh kecerdasan manusia,
tak akan melebihi kapasiatas kemungkinan yang telah dinurkan oleh
wahyu yang berpuncak di Muhammad.
Tetapi, barangkali
kita, adalah ummat tolol yang bisa menjadi cukup tenang hanya dengan
mengemukakan keyakinan itu, tanpa mengerjakannya, dan kemudian -- kata
para piawai -- "Kita ketinggalan dua abad" dibanding orang-orang lain
yang justru 'acuh tak acuh terhadap Allah'. Mungkin bagi kita Jibril
adalah tokoh sejarah pada zaman sebelum Prabu Jayabaya atau candi
Borobudur dibangun. Jibril adalah bayangan patung, arca berjubah,
makhluk supra-raksasa yang telapak tangannya seluas 3333 kali galaksi,
yang eksistensinya sepurba Dinosaurus. Atau Jibril itu semacam
lelembut. Dan semua itu tidak konkret.
Padahal tidak.
Jibril tidak pensiun. Ia begitu karib, di sisi tidur dan jagamu. Namun
apabila pengalaman keilahian tidak selalu kita perbaharui, pada suatu
hari kita akan sadar seolah-olah kita ini hidup di masa pra-Ibrahim
yang menghayati bulan dan matahari untuk menemukan Allahnya. (Repositori Emha Ainun Nadjib)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.