Kematian bukanlah the ending atau “riwayat”
yang telah tamat. Kematian merupakan proses manusia lahir kembali ke
dimensi lain yang lebih tinggi derajatnya ketimbang hidup di dimensi
bumi. Bila perbuatannya baik berarti mendapatkan “kehidupan sejati” yang penuh kemuliaan, sebaliknya akan mengalami “kehidupan baru” yang penuh kesengsaraan. Jasad sebagai kulit pembungkus sudah tak terpakai lagi dalam kehidupan yang sejati.
Yang hidup adalah esensinya berupa badan halus esensi cahaya yang menyelimuti sukma. Bagi orang Jawa yang belum kajawan khususnya,
hubungan dengan leluhur atau orang-orang yang telah menurunkannya
selalu dijaga agar jangan sampai terputus sampai kapanpun. Bahkan masih
bisa terjadi interaksi antara leluhur dengan anak turunnya. Interaksi
tidak dapat dirasakan kecuali oleh orang-orang yang terbiasa mengolah
rahsa sejati.
Dalam tradisi Jawa dipahami bahwa di satu sisi leluhur dapat njangkung dan njampangi (membimbing dan mengarahkan)
anak turunnya agar memperoleh kemuliaan hidup. Di sisi lain,
anak-turunnya melakukan berbagai cara untuk mewujudkan rasa berbakti
sebagai wujud balas budinya kepada orang-orang yang telah menyebabkan
kelahirannya di muka bumi. Sadar atau tidak warisan para leluhur kita
& leluhur nusantara berupa tanah perdikan (kemerdekaan), ilmu, ketentraman, kebahagiaan bahkan harta benda masih bisa kita rasakan hingga kini.
Ada Apa di Balik NUSANTARA
Bangsa Indonesia sungguh berbeda dengan
bangsa-bangsa lain yang ada di muka bumi. Perbedaan paling mencolok
adalah jerih payahnya saat membangun dan merintis berdirinya bangsa
sebesar nusantara ini. Kita semua paham bila berdirinya bangsa dan
negara Indonesia berkat perjuangan heroik para leluhur kita. Dengan
mengorbankan harta-benda, waktu, tenaga, pikiran, darah, bahkan
pengorbanan nyawa.
Demi siapakah ? Bukan demi kepentingan
diri mereka sendiri, lebih utama demi kebahagiaan dan kesejahteraan anak
turunnya, para generasi penerus bangsa termasuk kita semua yang sedang
membaca tulisan ini. Penderitaan para leluhur bangsa bukanlah sembarang
keprihatinan hidup. Jika dihitung sejak masa kolonialisme bangsa Barat
di bumi nusantara, para leluhur perintis bangsa melakukan perjuangan
kemerdekaan selama kurang-lebih dari 350 tahun lamanya. Belum lagi jika
dihitung dari era jatuhannya Kerajaan Majapahit yang begitu menyakitkan hati.
Perjuangan bukan saja menguras tenaga dan
harta benda, bahkan telah menggilas kesempatan hidup, menyirnakan
kebahagiaan, memberangus ketentraman lahir dan batin, hati yang
tersakiti, ketertindasan, harga diri yang diinjak dan terhina. Segala
perjuangan, penderitaan dan keprihatinan menjadi hal yang tak
terpisahkan karena, perjuangan dilakukan dalam suasana yang penuh
kekurangan. Kurang sandang pangan, kurang materi, dan kekurangan dana.
Itulah puncak penderitaan hidup yang
lengkap mencakup multi dimensi. Penderitaan berada pada titik nadzir
dalam kondisi sedih, nelangsa, perut lapar, kekurangan senjata, tak
cukup beaya namun kaki harus tetap tegap berdiri melakukan perlawanan
mengusir imperialism dan kolonialism tanpa kenal lelah dan pantang
mengeluh. Jika kita resapi, para leluhur perintis bangsa zaman dahulu
telah melakukan beberapa laku prihatin yang teramat berat dan sulit dicari tandingannya sbb :
1. Tapa Ngrame; ramai dalam berjuang sepi dalam pamrih mengejar kepentingan pribadi.
2. Tapa Brata; menjalani
perjuangan dengan penuh kekurangan materiil. Perjuangan melawan
kolonialism tidak hanya dilakukan dengan berperang melawan musuh, namun
lebih berat melawan nafsu pribadi dan nafsu jasad (biologis dan psikis).
3. Lara Wirang; harga
diri dipermalukan, dihina, ditindas, diinjak, tak dihormati, dan nenek
moyang bangsa kita pernah diperlakukan sebagai budak di rumahnya
sendiri.
4. Lara Lapa; segala macam penderitaan berat pernah dialami para leluhur perintis bangsa.
5. Tapa Mendhem; para
leluhur banyak yang telah gugur sebelum merdeka, tidak menikmati buah
yang manis atas segala jerih payahnya. Berjuang secara tulus, dan segala
kebaikannya dikubur sendiri dalam-dalam tak pernah diungkit dan
dibangkit-bangkit lagi.
6. Tapa Ngeli; para
leluhur bangsa dalam melakukan perjuangan kepahlawanannya dilakukan
siang malam tak kenal menyerah. Penyerahan diri hanya dilakukan kepada
Hyang Mahawisesa (Tuhan Yang Mahakuasa).
Itulah kelebihan leluhur perintis bumi nusantara, suatu jasa baik yang mustahil kita balas. Kita sebagai generasi penerus bangsa telah berhutang jasa (kepotangan budhi) tak terhingga besarnya kepada para perintis nusantara. Tak ada yang dapat kita lakukan, selain tindakan berikut ini :
- Memelihara dan melestarikan pusaka atau warisan leluhur paling berharga yakni meliputi tanah perdikan (kemerdekaan), hutan, sungai, sawah-ladang, laut, udara, ajaran, sistem sosial, sistem kepercayaan dan religi, budaya, tradisi, kesenian, kesastraan, keberagaman suku dan budaya sebagaimana dalam ajaran Bhinneka Tunggal Ikka. Kita harus menjaganya jangan sampai terjadi kerusakan dan kehancuran karena salah mengelola, keteledoran dan kecerobohan kita. Apalagi kerusakan dengan unsur kesengajaan demi mengejar kepentingan pribadi.
- Melaksanakan semua amanat para leluhur yang terangkum dalam sastra dan kitab-kitab karya tulis pujangga masa lalu. Yang terekam dalam ajaran, kearifan lokal (local wisdom), suri tauladan, nilai budaya, falsafah hidup tersebar dalam berbagai hikayat, cerita rakyat, legenda, hingga sejarah. Nilai kearifan lokal sebagaimana tergelar dalam berbagai sastra adiluhung dalam setiap kebudayaan dan tradisi suku bangsa yang ada di bumi pertiwi. Ajaran dan filsafat hidupnya tidak kalah dengan ajaran-ajaran impor dari bangsa asing. Justru kelebihan kearifan lokal karena sumber nilainya merupakan hasil karya cipta, rasa, dan karsa melalui interaksi dengan karakter alam sekitarnya. Dapat dikatakan kearifan lokal memproyeksikan karakter orisinil suatu masyarakat, sehingga dapat melebur (manjing, ajur, ajer) dengan karakter masyarakatnya pula.
- Mencermati dan menghayati semua peringatan (wewaler) yang diwasiatkan para leluhur, menghindari pantangan- pantangan yang tak boleh dilakukan generasi penerus bangsa. Selanjutnya mentaati dan menghayati himbauan-himbauan dan peringatan dari masa lalu akan berbagai kecenderungan dan segala peristiwa yang kemungkinan dapat terjadi di masa yang akan datang (masa kini). Mematuhi dan mencermati secara seksama akan bermanfaat meningkatkan kewaspadaan dan membangun sikap eling.
- Tidak melakukan tindakan lacur, menjual pulau, menjual murah tambang dan hasil bumi ke negara lain. Sebaliknya harus menjaga dan melestarikan semua harta pusaka warisan leluhur. Jangan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, “menggunting dalam lipatan”.
- Merawat dan memelihara situs dan benda-benda bersejarah, tempat yang dipundi-pundi atau pepunden (makam) para leluhur. Kepedulian kita untuk sekedar merawat dan memelihara makam leluhur orang-orang yang telah menurunkan kita dan leluhur perintis bangsa, termasuk dalam mendoakannya agar mendapat tempatkamulyan sejati dan kasampurnan sejati di alam kelanggengan merupakan kebaikan yang akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak ada buruknya kita meluhurkan leluhur bangsa asing dengan dalih apapun; agama, ajaran, budaya, ataupun sebagai ikon perjuangan kemanusiaan. Namun demikian hendaknya leluhur sendiri tetap dinomorsatukan dan jangan sampai dilupakan bagaimanapun juga beliau adalah generasi pendahulu yang membuat kita semua ada saat ini. Belum lagi peran dan jasa beliau-beliau memerdekakan bumi pertiwi menjadikan negeri ini menjadi tempat berkembangnya berbagai agama impor yang saat ini eksis. Dalam falsafah hidup Kejawen ditegaskan untuk selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Mengerti asal muasalnya hingga terjadi di saat ini. Dengan kata lain ;kacang hendaknya tidak melupakan kulitnya.
- Hilangkan sikap picik atau dangkal pikir (cethek akal) yang hanya mementingkan kelompok, gender atau jenis kelamin, golongan, suku, budaya, ajaran dan agama sendiri dengan sikap primordial, etnosentris dan rasis. Kita harus mencontoh sikap kesatria para pejuang dan pahlawan bumi pertiwi masa lalu. Kemerdekaan bukanlah milik satu kelompok, suku, ras, bahkan agama sekalipun. Perjuangan dilakukan oleh semua suku dan agama, kaum laki-laki dan perempuan, menjadikan kemerdekaan sebagai anugrah milik bersama seluruh warga negara Indonesia.(keajaibandunia)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.