Generasi Durhaka
Kesadaran kita bahwa bangsa ini dulunya adalah bangsa yang besar
dalam arti kejayaannya, kemakmurannya, kesuburan alamnya, kekayaan dan
keberagaman akan seni dan budayanya, ketinggian akan filsafat
kehidupannya, menumbuhkan sikap bangga kita hidup di negeri ini. Namun
bila mencermati dengan seksama apa yang di lakukan para generasi penerus
bangsa saat ini terutama yang sedang memegang tampuk kekuasaan kadang
membuat perasaan kita terpuruk bahkan sampai merasa tidak lagi mencintai
negara Indonesia berikut produk-produknya.
Di sisi lain beberapa kelompok masyarakat seolah-olah menginginkan
perubahan mendasar (asas) kenegaraan dengan memandaang pesimis dasar
negara, falsafah dan pandangan hidup bangsa yang telah ada dan diretas
melalui proses yang teramat berat dan berabad-abad lamanya. Golongan
mayoritas terkesan kurang menghargai golongan minoritas. Keadilan
dilihat dari kacamata subyektif, menurut penafsiran pribadi, sesuai
kepentingan kelompok dan golongannya sendiri. Kepentingan yang kuat
meniadakan kepentingan yang lemah. Kepentingan pribadi atau kelompok
diklaim atas nama kepentingan rakyat. Untuk mencari menangnya sendiri
orang sudah berani lancang mengklaim tindakannya atas dasar dalil agama
(kehendak Tuhan).
Ayat dan simbol-simbol agama dimanipulasi untuk mendongkrak
dukungan politik. Watak inilah yang mendominasi potret generasi yang durhaka pada
para leluhur perintis bangsa di samping pula menghianati amanat
penderitaan rakyat. Celakanya banyak pecundang negeri justru mendapat
dukungan mayoritas. Nah, siapa yang sudah keblinger, apakah
pemimpinnya, ataukah rakyatnya, atau mungkin pemikiran saya pribadi ini
yang tak paham realitas obyektif. Kenyataan betapa sulit menilai suatu
ralitas obyektif, apalagi di negeri ini banyak sekali terjadi manipulasi
data-data sejarah dan gemar mempoles kosmetik sebagai pemanis kulit
sebagai penutup kebusukan.
“Dosa” Anak Kepada Ibu (Pertiwi)
Leluhur bumi nusantara bagaikan seorang ibu yang telah berjasa
terlampau besar kepada anak-anaknya. Sekalipun dikalkulasi secara materi
tetap terasa kita tak akan mampu melunasi “hutang” budi-baik orang tua
kita dengan cara apapun. Orang tua kita telah mengandung, melahirkan,
merawat, membesarkan kita hari demi hari hingga dewasa. Sedangkan kita
tak pernah bisa melakukan hal yang sama kepada orang tua kita.
Demikian halnya dengan para leluhur perintis bangsa. Bahkan kita
tak pernah bisa melakukan sebagaimana para leluhur lakukan untuk kita.
Apalagi beliau-beliau telah lebih dulu pergi meninggalkan kita menghadap
Hyang Widhi (Tuhan YME). Diakui atau tidak, banyak sekali kita
berhutang jasa kepada beliau-beliau para leluhur perintis bangsa.
Sebagai konsekuensinya atas tindakan pengingkaran dan penghianatan
kepada leluhur, sama halnya perilaku durhaka kepada ibu (pertiwi) kita sendiri yang dijamin akan mendatangkan malapetaka atau bebendu dahsyat. Itulah pentingnya kita tetap nguri-uri atau
memelihara dan melestarikan hubungan yang baik kepada leluhur yang
telah menurunkan kita khususnya, dan leluhur perintis bangsa pada
umumnya. Penghianatan generasi penerus terhadap leluhur bangsa, sama
halnya kita menabur perbuatan durhaka yang akan berakibat menuai
malapetaka untuk diri kita sendiri.
Sudah menjadi kodrat alam (baca; kodrat ilahi) sikap generasi penerus bangsa yang telah mendurhakai para leluhur perintis bumi pertiwi dapat mendatangkan azab, malapetaka besar yang menimpa seantero negeri.
Sikap yang “melacurkan” bangsa, menjual aset negara secara ilegal,
merusak lingkungan alam, lingkungan hidup, hutan, sungai, pantai. Tidak
sedikit para penanggungjawab negeri melakukan penyalahgunaan wewenangnya
dengan cara “ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya agawe rekasa, tut wuri nyilakani”. Tatkala berkuasa menggunakan aji mumpung, sebagai kelas menengah selalu menyulitkan orang, jika menjadi rakyat gemar mencelakai. Seharusnya ing ngarsa asung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Walaupun tidak semua orang melakukan perbuatan durhaka namun
implikasinya dirasakan oleh semua orang. Sekilas tampak tidak adil,
namun ada satu peringatan penting yang perlu diketahui bahwa,hanya orang-orang yang selalu eling dan waspada yang akan selamat dari malapetaka negeri ini.
Rumus Yang Tergelar
Saya tergerak untuk membuat tulisan ini setelah beberapa kali mendapatkan pertanyaan sbb; apakah
kembalinya kejayaan nusantara tergantung dengan peran leluhur
? jawabnya, TIDAK ! melainkan tergantung pada diri kita sendiri sebagai
generasi penerus bangsa. Meskipun demikian bukan berarti menganulir
peran leluhur terhadap nasib bangsa saat ini. Peran leluhur tetap besar
hanya saja tidak secara langsung.
Keprihatinan luar biasa leluhur nusantara di masa
lampau dalam membangun bumi nusantara, telah menghasilkan sebuah “rumus”
besar yang boleh dikatakan sebagai hukum atau kodrat alam.
Setelah keprihatinan dan perjuangan usai secara tuntas, “rumus” baru
segera tergelar sedemikian rupa. Rumus berlaku bagi seluruh generasi
penerus bangsa yang hidup sebagai warga negara Indonesia dan siapapun
yang mengais rejeki di tanah perdikan nusantara. Kendatipun demikian
generasi penerus memiliki dua pilihan yakni, apakah
akan menjalani roda kehidupan yang sesuai dalam koridor “rumus” besar
atau sebaliknya, berada di luar “rumus” tersebut.
Kedua pilihan itu masing-masing memiliki konsekuensi logis. Filsafat hidup Kejawen selalu wanti-wanti ; aja duwe watak kere,
“jangan gemar menengadahkan tangan”. Sebisanya jangan sampai berwatak
ingin selalu berharap jasa (budi) baik atau pertolongan dan bantuan dari
orang lain, sebab yang seperti itu abot sanggane,
berat konsekuensi dan tanggungjawab kita di kemudian hari. Bila kita
sampai lupa diri apalagi menyia-nyiakan orang yang pernah memberi jasa
(budi) baik kepada kita, akan menjadikan sukerta dan sengkala. Artinya membuat kita sendiri celaka akibat ulah kita sendiri.
Leluhur melanjutkan wanti-wantinya pada generasi penerus, agar supaya ; tansah eling sangkan paraning dumadi. Mengingat
jasa baik orang-orang yang telah menghantarkan kita hingga meraih
kesuksesan pada saat ini. Mengingat dari siapa kita dilahirkan,
bagaimana jalan kisah, siapa saja yang terlibat mendukung, menjadi
perantara, yang memberi nasehat dan saran, hingga kita merasakan
kemerdekaan dan ketenangan lahir batin di saat sekarang. Sementara itu, generasi durhaka adalah generasi yang sudah tidak eling sangkan paraning dumadi. (keajaibandunia)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.