Tugas dan Tanggungjawab Generasi Bangsa
Sebagai generasi penerus bangsa yang telah menanggung banyak sekali
hutang jasa dan budi baik para leluhur masa lalu, tak ada pilihan yang
lebih tepat selain harus mengikuti rumus-rumus yang telah tergelar.
Sebagaimana ditegaskan dalam serat Jangka Jaya Baya serta berbagai pralampita, kelak negeri ini akan mengalami masa kejayaan kembali yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, bilamana semua suku bangsa kembali nguri-uri kebudayaan, menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal (local wisdom), masing-masing suku kembali melestarikan tradisi peninggalan para leluhur nusantara.
Khususnya bagi orang Jawa yang sudah hilang kejawaannya (kajawan) dan berlagak sok asing, bersedia kembali menghayati nilai luhur kearifan lokal.
Demikian pula suku Melayu, Dayak, Papua, Minang, Makasar, Sunda,
Betawi, Madura, Tana Toraja, Dayak dst, kembali menghayati tradisi dan
budaya lokal yang kaya akan nilai-nilai luhur. Bagaimanapun kearifan
lokal memiliki kunggulan yakni lebih menyatu dan menjiwai (manjing ajur ajer) serta lebih mengenal secara cermat karakter alam dan masyarakat setempat.
Desa mawa cara, negara mawa tata. Masing-masing wilayah
atau daerah memiliki aturan hidup dengan menyesuaikan situasi dan
kondisi alamnya. Tradisi dan budaya setempat adalah “bahasa” tak
tertulis sebagai buah karya karsa, cipta, dan karsa manusia dalam
berinteraksi dengan alam semesta. Orang yang hidup di wilayah subur
makmur akan memiliki karakter yang lembut, santun, toleran, cinta damai
namun agak pemalas.
Sebaliknya orang terbiasa hidup di daerah gersang, sangat panas,
sulit pangan, akan memiliki karakter watak yang keras, temperamental,
terbiasa konflik dan tidak mudah toleran. Indonesia secara keseluruhan
dinilai oleh manca sebagai masyarakat yang berkarakter toleran,
penyabar, ramah, bersikap terbuka. Namun apa jadinya jika serbuan budaya
asing bertubi-tubi menyerbu nusantara dengan penuh keangkuhan (tinggi hati) merasa paling baik dan benar sedunia.
Apalagi budaya yang dikemas dalam moralitas agama, atau sebaliknya
moralitas agama yang mengkristal menjadi kebiasaan dan tradisi. Akibat
terjadinya imperialisme budaya asing, generasi bangsa ini sering keliru
dalam mengenali siapa jati dirinya. Menjadi bangsa yang kehilangan arah,
dengan “falsafah hidup” yang tumpang-tindih dan simpang-siur menjadikan
doktrin agama berbenturan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang lebih
membumi.
Ditambah berbagai pelecehan konstitusi oleh
pemegang tampuk kekuasaan semakin membuat keadaan carut-marut dan
membingungkan. Tidak sekedar mengalami kehancuran ekonomi, lebih dari
itu bangsa sedang menuju di ambang kehancuran moral, identitas budaya,
dan spiritual. Kini, saatnya generasi penerus bangsa kembali mencari identitas jati dirinya, sebelum malapetaka datang semakin besar. Mulai sekarang juga, mari kita semua berhenti menjadi generasi durhaka kepada
“orang tua” (leluhur perintis bangsa). Kembali ke pangkuan ibu pertiwi,
niscaya anugrah kemuliaan dan kejayaan bumi nusantara akan segera
datang kembali.
TRAH MAJAPAHIT
Dalam pola hubungan kekerabatan atau silsilah di dalam Kraton di Jawa di kenal istilahtrah. Menurut arti harfiahnya trah adalah garis keturunan atau diistilahkan tepas darah dalem atau kusuma trahing narendra, yakni orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga besar secara genealogis dalam hubungan tali darah (tedhaking andana warih).
Banyak sekali orang merasa bangga menjadi anggota suatu trah tertentu namun kebingungan saat menceritakan runtutan silsilah atau trah leluhur
yang mana yang menurunkannya. Seyogyanya kita masih bisa menyebut dari
mana asal-usul mata rantai leluhur yang menurunkan agar supaya dapat
memberikan pengabdian kepada leluhur secara tepat.
Dengan demikian rasa memiliki dan menghormati leluhurnya tidak
dilakukan dengan asal-asalan tanpa mengetahui siapa persisnya
nenek-moyang yang telah menurunkan kita, dan kepada leluhur yang mana
harus menghaturkan sembah bakti. Jika kita terputus mengetahui mata
rantai tersebut sama halnya dengan mengakui atau meyakini saja sebagai
keturunan Adam, namun alur mata rantainya tidak mungkin diuraikan lagi.
Mengetahui tedhaking andana warih membuat kita lebih tepat munjuk sembah pangabekti atau menghaturkan rasa berbakti dan memuliakan leluhur kita sendiri. Jangan sampai seperti generasi durhaka yakni orang-orang kajawan rib-iriban yang
tidak memahami hakekat, kekenyangan “makan kulit”, menjunjung setinggi
langit leluhur bangsa asing sekalipun harus mengeluarkan beaya puluhan
bahkan ratusan juta rupiah tapi tidak mengerti makna sesungguhnya.
Sungguh ironis, sementara leluhurnya sendiri terlupakan dan
makamnya dibiarkan merana hanya karena takut dituduh musrik atau
khurafat. Cerita ironis dan menyedihkan itu seketika raib tatkala sadar
telah mendapatkan label sebagai “orang suci” dan saleh hanya karena
sudah meluhurkan leluhur bangsa asing. Ya, itulah kebiasaan sebagian
masyarakat yang suka menilai simbol-simbolnya saja, bukan memahami
esensinya. Apakah seperti itu cara kita berterimakasih kepada leluhur
yang menurunkan kita sendiri, dan kepada leluhur perintis bangsa?
Rupanya mata hati telah tertutup rapat, tiada lagi menyadari bahwa
teramat besar jasa para leluhur bangsa kita. Tanpa beliau-beliau
pendahulu kita semua yang telah menumpahkan segala perjuangannya demi
kehidupan dan kemuliaan anak turun yang mengisi generasi penerus bangsa
rasanya kita tak kan pernah hidup saat ini.
Tolok ukur kejayaan nusantara masa lalu adalah kejayaan kerajaan Pajajaran, Sriwijaya dan Majapahit, terutama yang terakhir. Trah atau
garis keturunan kerajaan Majapahit yang masih eksis hingga sekarang,
yakni kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kotagede Yogyakarta,
Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di kota Solo, generasi Mangkubumen
yakni Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta. Semuanya adalah generasi
penerus Majapahit terutama raja terakhir Prabu Brawijaya V.
Berikut ini silsilah yang saya ambil secara garis besarnya saja : Prabu Brawijaya V mempunyai 3 putra di antaranya adalah :
1. Ratu Pembayun (Lajer Putri)
2. Raden Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub (Lajer Putra)
3. Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I (Lajer Putra;
tetapi ibu kandung dari bangsa asing yakni; Putri Cempo dari Kamboja ;
beragama Islam)
Trah Ratu Pembayun menurunkan 2 Putra :
1. Ki Ageng Kebo Kanigoro
2. Ki Ageng Kebo Kenongo/Ki Ageng Pengging
Ki Ageng Kebo Kenongo menurunkan 1 Putra: (Lajer Putri)
1. Mas Karebet / Joko Tingkir / Sultan Hadiwijoyo/ Sultan Pajang I (Lajer Putri)
Sementara itu Raden Patah / Jin Bun / Sultan Buntoro Demak I, menurunkan 2 Putera yakni :
(1) Pangeran Hadipati Pati Unus / Sultan Demak II
(2) Pangeran Hadipati Trenggono / Sultan Demak III
Keduanya penerus Demak – tetapi akhirnya putus alias demak runtuh karena pemimpinnya tidak kuat.
Kerajaan Demak hanya berlangsung selama 3 periode. Entah ada
kaitannya atau tidak namun kejadiannya sebagaimana dahulu pernah
diisaratkan oleh Prabu Brawijaya V saat menjelang puput yuswa.
Prabu Brawijaya V merasa putranda Raden Patah menjadi anak yang berani
melawan orang tua sendiri, Sang Prabu Brawijaya V (Kertabhumi), apapun
alasannya.
Maka Prabu Brawijaya V bersumpah bila pemerintahan Kerajaan Demak hanya akan berlangsung selama 3 dinasti saja (Raden
Patah, Adipati Unus, Sultan Trenggono). Setelah itu kekuasaa Kerajaan
Demak Bintoro akan redup dengan sendirinya. Hal senada disampaikan pula
oleh Nyai Ampel Gading kepada cucunda Raden Patah, setiap anak yang durhaka kepada orang tuanya pasti akan mendapat bebendu dari Hyang Mahawisesa.
Dikatakan oleh Nyai Ampel Gading, bahwa Baginda Brawijaya V telah memberikan 3 macam anugrah kepada Raden Patah yakni :
1) daerah kekuasaan yang luas,
2) diberikan Tahta Kerajaan,
3) dan dipersilahkan menyebarkan agama baru yakni agama sang ibundanya (Putri Cempa) dengan leluasa.
Namun Raden Patah tetap menginginkan tahta Majapahit, sehingga
berani melawan orang tuanya sendiri. Sementara ayahandanya merasa serba
salah, bila dilawan ia juga putera sendiri dan pasti kalah, jika tidak
dilawan akan menghancurkan Majapahit dan membunuh orang-orang yang tidak
mau mengikuti kehendak Raden Patah.
Akhirnya Brawijaya V memilih mengirimkan sekitar 3000 pasukan saja
agar tidak mencelakai putranda Raden Patah. Sementara pemberontakan
Raden Patah ke Kerajaan Majapahit membawa bala tentara sekitar 30 ribu
orang, dihadang pasukan Brawijaya V yang hanya mengirimkan 3000 orang.
Akibat jumlah prajurit tidak seimbang maka terjadi banjir darah dan
korban berjatuhan di pihak Majapahit.
Sejak itulah pustaka-pustaka Jawa dibumihanguskan, sementara itu
orang-orang yang membangkang dibunuh dan rumahnya dibakar. Sebaliknya
yang memilih mengikuti kehendak Raden Patah dibebaskan dari upeti atau
pajak. Senada dengan Syeh Siti Jenar yang enggan mendukung pemberontakan
Raden Patah ke Majapahit, adalah Kanjeng Sunan Kalijaga yang sempat
memberikan nasehat kepada Raden Patah, agar tidak melakukan
pemberontakan karena dengan memohon saja kepada ayahandanya untuk
menyerahkan tahta, pasti permintaan Raden Patah akan dikabulkannya.
Hingga akhirnya nasehat tak dihiraukan Raden patah, dan terjadilah
perang besar yang membawa banyak korban. Hal ini sangat disesali oleh
Kanjeng Sunan Kalijaga, hingga akhirnya memutuskan untuk berpakaian
serba berwarna wulung atau hitam sebagai pertanda kesedihan dan
penyesalan atas peristiwa tersebut. (keajaibandunia)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.