Al-Quran Tidak Ikut Pensiun
Alkisah, Allah serius menciptakan Nur Muhammad, sehingga melanjutkannya dengan bikin jagat raya alam semesta beserta penghuninya. Selama puluhan juta tahun dibiarkan “liar, alamiah, liberal”. Kemudian di ujungnya, sekitar 10.000 tahun terakhir, Allah menata kepemimpinan Bumi dengan menghadirkan Khalifah.
Pada bagian-bagian akhir dari ujung zaman itu Allah pasang Nabi Rasul pamungkas yang dipegangi “buku manual” bernama al-Quran. Penduduk Bumi tak usah terlalu repot mencari Allah sebagaimana sebelumnya: cukup baca Kitab itu dengan kecerdasan dan kenikmatan, tidak ragu, patuh dan setia kepada kandungannya.
Penduduk Bumi pada era pasca Khotamal-Anbiya sekarang ini tentu tetap berkemungkinan untuk “merusak bumi dan menumpahkan darah”. Tetapi ada modal lain yang membuat saya yakin bahwa ujungnya tetap keselamatan “fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah”: Allah sendiri yang pasang Khalifah, Allah sendiri yang tancapkan tonggak syafaat dengan menghadirkan Muhammad, Allah sendiri yang membekalinya al-Quran, dan Allah sendiri yang berjanji menjaganya – “inna lahu lahafidhun”.
Maka penduduk Bumi sedang menyongsong keselamatan masa depan, meskipun tetap dipersyarati oleh “yughoyyiru ma bianfusihim”. Dan kita semua yang ada di ruangan ini pagi ini, adalah pekerja-pekerja kesetiaan kepada al-Quran, yang terus berjuang mengubah diri dan dunia. Apa yang lebih indah dan membahagiakan dibanding “maqam” berjuang menyebarkan bahasa al-Quran untuk menaburkan dan menyemaikan kandungan nilainya? Apalagi ditambahi dengan kemuliaan untuk bersikap toleran kepada suatu cara berpikir dan sistem kekuasaan yang menyebut kita sedang memasuki masa pensiun?
Insyaallah ampunan Allah melimpahi mereka yang membuat dan menandatangani Surat Keputusan Pensiun, karena pasti yang mereka maksudkan bukanlah mempensiunkan perjuangan intisyaru-lughatil-Quran.
Dari Ruang Pembelajaran Menuju Medan Juang
Dan kalau kita yakin kepada Allah, mencintai Rasulullah, nikmat mentadabburi al-Quran dan mentafakkuri alam semesta, serta beristiqamah sebagai aktivis Bahasa Arab: maka kita berada pada koordinat yang paling dekat terhadap kepastian keselamatan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Kalau terhadap kalimat itu muncul respon di benak kita — “Ah, belum tentu….”, maka kalimat di atas bertambah juga: “Kalau kita belum tentu yakin kepada Allah, belum tentu mencintai Rasulullah….” dst, silahkan dielaborasi sendiri di dalam kehidupan masing-masing.
Kemudian karena keselamatan kita juga terkait dengan keselamatan Bumi dan keselamatan Indonesia, maka probabilitas masa depan kita terletak pada posisi timbangan antara tingkat kerusakan dunia sekarang ini — dengan kadar iman kita kepada Allah, cinta kita kepada Rasulullah, intensitas tadabbur dan tafakkur kita kepada al-Quran dan alam, serta intensitas dan kesetiaan kita sebagai aktivis bahasa al-Quran.
Saya pribadi memiliki ketidakyakinan yang tidak kecil atas logika itu karena sangat dahsyatnya kerusakan manusia dan kehidupan yang kini sedang berlangsung. Tetapi belum pernah saya menemukan dan mengalami manfaat apapun dari ketidakyakinan, sehingga saya ambil keputusan untuk yakin saja sepenuhnya. Dan kalau sampai naza’ oleh maut nanti tidak atau belum saya jumpai bukti atas keyakinan itu, saya akan tetap merasa lega dan tenang, sebab toh saya akan mati membawa keyakinan dan husnuzhzhan kepada Allah. Berikutnya insyaallah sesudah menapaki kematian, Allah dan para Malaikat-Nya tidak mempertanyakan tanggungjawab saya atas keselamatan Bumi dan Indonesia, kecuali sebatas yang terkait dengan amal perilaku saya selama menjalani penugasan hidup.
Keyakinan itu menerbitkan ketenangan. Ketenangan itu membuat saya enteng dan bahagia. Kebahagiaan itulah tulang punggung kejiwaan saya untuk tegak berdiri di sini, turut merayakan dan mensyukuri upacara peneguhan kembali tugas tiga aktivis Bahasa al-Quran yang sedang mencapai puncak kematangannya. Dan hari ini mereka memperoleh kemerdekaan untuk memperluas dan memperdalam aktivitas mereka di masyarakat luas, tanpa tersendat-sendat langkahnya oleh sejumlah hal yang tidak berkonteks al-Quran yang biasa merepotkannya. Kemarin mereka terpenjara di ruang-ruang pembelajaran, hari ini masuk ke medan juang yang nyata.
Dari Embun Menetes Hingga Tujuh Langit
Salah seorang dari tiga “Pengantin” kita hari ini oleh Allah ditakdirkan menjadi Saudara Sulung saya dalam urutan 15 bersaudara. Dan mohon maaf meskipun paparan ini seakan bersifat individual dan terfokus kepada saudara sulung saya: namun itu hanya “pintu” untuk memasuki wilayah-wilayah konteks dan nuansa yang di dalamnya terdapat semua beliau bertiga.
Sebab perjalanan sejarah bahasa Arab dan bahasa al-Quran Saudara Sulung berada di “sungai pengalaman” yang sama dengan beliau berdua. Dra. Maslihah, teman dekat Saudara Sulung sejak di Jogja, terutama dalam komunitas pecinta sastra Arab dan komunitas penggemar lagu-lagu Umi Kultsum di Jogjakarta. Dosen yang tekun dalam tugasnya, dikenang oleh mahasiswa sebagai pembaca puisi Arab yang tidak ada duanya, tapi juga tidak bisa lepas dari tugas dakwah di tengah masyarakatnya, di samping mengorbankan waktu, tenaga, dan dananya untuk menghidupi lembaga pendidikan (TK-SD) yang diasuhnya, sampai tidak terpikir untuk studi lanjut (S-2) sampai pensiun.
Kemudian jangan tanyakan kedekatan Saudara Sulung dengan Drs. M. Dahlan Ridlwan. Beliau memiliki keterkaitan pengalaman dan perjuangan dengan Saudara Sulung yang bahkan belum tentu dimiliki oleh adik-adiknya Saudara Sulung sendiri. Pernah di Gontor sampai kelas 5 dan sama-sama dari Jombang. Aktivitasnya sebagai Da’i yang sangat sibuk melayani masyarakat membuatnya tidak sempat memberi kelegaan kepada para pengurus studi pasca sarjana. Beliau dikenal juga sebagai pecinta seni, pelantun lagu-lagu melayu lama, dan pemandu barzanji dan diba’ yang sulit dicari gantinya.
Pada upacara yang orang menyangka ini adalah Resepsi Akad Pensiun, saya menyampaikan empati kepada beliau bertiga atas sejumlah hal yang menyedihkan dan mengharukan, juga menyampaikan rasa syukur untuk sejumlah hal lain yang memerdekakan dan menggembirakan.
Sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai warganegara, dan utamanya sebagai bagian dari rombongan pengikut Nabiyullah dan Rasulullah Muhammad saw, saya ingin merayakan kebahagiaan bahwa Allah menugasi Saudara Sulung sebagai selah seorang waliyyu amri lughotil-Quran bersama beliau berdua.
Sebagai bagian dari bahasa-bahasa ummat manusia di Bumi, kita menyebutnya Bahasa Arab. Tapi sebagai bahasa pilihan Allah untuk merumuskan informasi dan bimbingan-Nya kepada perjalanan peradaban ummat manusia, kita menyebutnya Bahasa al-Quran.
Tidak kita sebut Bahasa Allah, karena seluruh realitas jagat raya adalah juga bahasa Allah. Segala kenyataan sunnatullah yang secara manipulatif kita sebut “hukum alam”, memuat bahasa komunikasi Allah. Dari embun yang menetes hingga tujuh langit yang tak terjangkau, adalah bahasa yang dipenuhi oleh kehendak dan penyampaian Allah. Juga Bahasa al-Quran dan Bahasa Arab tidak kita sebut Bahasa Komunikasi Allah, sebab kita tidak berani menyimpulkan bahwa Allah tidak pernah menyampaikan sesuatu menggunakan bahasa Jawa, bahasa Perancis. bahasa Swahili, atau bahasa-bahasa nir-kata dan berbagai macam alat komunikasi lainnya.
Tanggungjawab Allah
Mungkin kurang syar’i, atau kurang absah menurut syariat Islam, tapi kami sekeluarga merasa aman dunia akhirat karena Saudara Sulung kami adalah agen penyalur dan penyebar salah satu bahasa terpenting Allah kepada ummat manusia. Saudara Sulung itu salah seorang “pegawai” Allah yang utama, karena bekerja sebagai wali urusan bahasa al-Quran yang antara lain menggunakan bahasa Arab.
Karena pegawai penting, maka Allah pasti bertanggung jawab untuk menganugerahkan fasilitas-fasilitas, perlindungan dan kesejahteraan kepada pegawainya itu selama bertugas. Dengan sendirinya kami sekeluarga akan memperoleh cipratan dan limpahan dari beliau. Allah pasti juga mencintai dan menyayangi pegawainya yang setia, dengan demikian asalkan kami bersikap ta’zhim dan patuh kepada Saudara Sulung, tidak logis kalau tidak lantas Allah juga mencintai dan menyayangi kami semua.
Kami sekeluarga bersepakat bahwa yang penting sering-sering meniru mengucapkan kata dan kalimat dari al-Quran yang sering Saudara Sulung ucapkan. Apa boleh buat kalau ada orang yang menyangka kami sepintar Saudara Sulung dalam ber-al-Quran, pokoknya cas-cis-cus kefasihan Saudara Sulung kami buntuti dan lakukan. Mudah-mudahan masyarakat berlaku seperti Rasulullah Muhammad saw: pada orang seburuk apapun beliau mencari kebaikannya, bukan pada orang sebaik apapun kita mencari keburukannya.
Imaginasi Romantik
Hari ini saya menemukan dan menyadari kemungkinan kenapa Allah swt tidak memperkenankan saya melanjutkan belajar di Pondok Modern Gontor Ponorogo, sehingga Ia menciptakan suatu peristiwa dan memerintahkan pengurus Pondok untuk mengusir saya pada bulan Maret 1968, sehingga saya “kabur kanginan” sampai hari ini. Padahal setengah mati Saudara Sulung membimbing saya sejak akhir SD agar bisa dan pantas masuk Gontor.
Kemungkinan alasan kenapa saya diusir dari Gontor adalah pada pembagian tugas kewajiban hidup di dunia dalam lingkup keluarga saya: khusus untuk urusan Bahasa al-Quran dan Bahasa Arab, dilimpahkan sepenuhnya kepada kakak sulung saya, Ahmad Fuad Effendy.
Kalau, dalam suatu imaginasi romantik saya, di alam kubur atau barzakh Malaikat bertanya kepada saya:
“Kenapa kamu tega membuat Allah tersinggung perasaan-Nya?”
Tentu saja saya agak bingung apa maksudnya menyinggung perasaan Allah, sehingga saya menanyakan itu dan Malaikat meneruskan kalimatnya:
“Kan di dalam berkomunikasi dengan hamba-hambaNya dan menginformasikan sangat banyak hal yang para hamba tidak mungkin mengetahuinya tanpa Allah menginformasikannya — Allah memilih bahasa Arab. Kenapa kamu tidak beneran belajar bahasa Arab? Kamu tidak tertarik pada muatan informasi Allah? Kamu tidak jatuh cinta dan tidak ingin merasakan muatan cinta Allah melalui bahasa dan ekspressi yang Ia pilih? Kamu letakkan Allah sebagai factor yang sekunder dan remeh di dalam tata nilai hidupmu?”
Saya tidak kuat hati mendengar lebih panjang kalimat-kalimat Malaikat itu, sehingga saya menjawab dengan memotongnya: “Mohon izin di dalam keluarga saya ada kesepakatan untuk berbagi tugas. Dan khusus untuk Bahasa Arab atau Bahasa al-Quran, itu kewajiban Saudara Sulung kami”.
Ternyata makin disalahkan oleh Malaikat. “Kamu pikir pengadilan akhirat itu terdakwanya rombongan sekeluarga? Kamu pikir kalau Romo Magnis Suseno kepada Malaikat di akhirat nanti menyatakan “Saya nderek Gus Dur”, terus Gus Dur sendiri nderek siapa? Pengadilan akhirat itu bukan urusan mobil mogok yang perlu diderek-derek. Akhirat itu urusan shirâthal mustaqîm, bukan Jalan Tol”.
Saya menjawab dengan sangat ketakutan, “Ini masalah darurat. Ketika itu keluarga kami jatuh miskin habis-habisan, yang bisa tamat kuliah hanya Saudara Sulung. Yang lain tidak punya biaya untuk meneruskan sekolah. Sekian tahun kemudian baru ada yang pelan-pelan bisa sekolah. Tapi zaman sudah berubah, dan kami akhirnya menjumpai bahwa yang punya kapasitas dan kesanggupan untuk menyangga Bahasa Arab dan Bahasa al-Quran hanya Saudara Sulung. Adik-adiknya menyebar ke tempat-tempat sebatas yang mereka mampu. Untunglah ayat-ayat Allah tidak hanya di al-Quran, tapi bahkan lebih luas hamparannya fil-âfâqi wa fî-anfusikum….”
Malaikat semakin keras membentak saya, “Kamu ngustadzin saya ya! Kamu ini alumnus Pesantren Metro-TV atau TV-One?”
Langsung saya pingsan, sehingga tidak ingat bagaimana adegan selanjutnya.
“Loket baitul-Quran”
Alhasil 14 adik-adiknya dibebani kewajiban di bidang dan wilayah-wilayah lain yang berbeda-beda, namun kami semua menyepakati bahwa beliau saudara sulunglah rujukan utama segala wacana dan ilmu. Sebab apapun yang kami kerjakan, profesi apapun, bidang pekerjaan apapun, tidak berada di luar lingkup bimbingan nilai-nilai Al-Quran, dan Saudara Sulung adalah “loket”nya.
Ada Saudara kami yang urusannya adalah pertanian, membangun ghirrah dan kepercayaan diri para petani: “sabbaha lillâhi mâ fis-samâwâti wamâ fil-ardh”, mana mungkin ada tanah, sawah, tanaman, dedaunan, musim, benih, bakteri, wabah, warna hijau atau kuning, atau rasa syukur tatkala panen, yang terletak di luar Allah dan al-Quran.
Saudara-saudara kami yang lain ada yang berdagang kecil-kecilan. Ada yang ajeg memelihara proses kependidikan dan menyirami dinamika pesuburan ilmu, ijtihad dan kreativitas. Ada yang berkeliling menemani hati dan pikiran masyarakat. Serta berbagai macam ragam tugas yang lain.
Semua itu tak bisa tuntas dan “legal” atau “halâlan thayyiban” kalau tidak pada saat-saat yang mendasar berdiri antre di depan “loket baitul-Quran” yang dijaga dengan sangat setia dan penuh ketekunan oleh Saudara Sulung.
“Aib” Saudara Sulung
Ada manusia yang “tahu sedikit tentang sedikit hal”. Ada yang “tahu banyak tentang sedikit hal”. Ada yang “tahu sedikit tentang banyak hal”. Serta ada yang “tahu banyak tentang banyak hal”. Manusia yang dalam hidupnya menemukan kenikmatan hidup bersama al-Quran (nikmat secara rohaniyah, nikmat secara intelektual, nikmat secara estetik, dst) ia akan dengan sendirinya terseret untuk menjadi manusia yang tahu banyak tentang banyak hal. Minimal ia tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi pada perkara tertentu ia pasti tahu banyak tentang sedikit hal.
“Tahu” itu bisa dikembangkan menjadi “mengerti”, “sadar”, “bisa”, “mampu”, “sanggup”, bahkan bisa diperkaya dimensinya ke “mendalam”, “meluas”, “meninggi”. Karena kapasitas individu-individu di keluarga kami tidak mungkin mencapai kesempurnaan untuk memenuhi skema dan terminologi itu, maka kami menyusun semacam “formasi”. Kami bekerjasama secara simultan: bertemu sebulan sekali di kampung halaman, Menturo. Secara tentatif juga bertemu di Surabaya, Yogya, Semarang, Jakarta dan sejumlah tempat lain. Saling mengisi, saling mengkontribusikan hasil pencarian dan penemuan, mempetakan perbedaan dan persamaan, menata dan mengelola mapping kekayaan ilmu Allah itu untuk diproduksi menjadi manfaat sosial.
Seluruh anggota keluarga kami canggung dan “malu” berkarier, tak ada satupun yang berjuang mencapai “puncak kejayaan di dunia”. Kami hanya berupaya turut mengantarkan banyak orang, yang di antara mereka memang berjuang mencapai apa yang mereka yakini atau mereka sangka sebagai “fid-dunyâ hasanah”: menjadi Presiden, Menteri, Ulul-amr, pengusaha sukses, Ulama besar atau apapun. Sementara kami 15 bersaudara tetap hanya “Guru SD” sampai udzur usia. Kami sekeluarga, termasuk saya sendiri, baru tahu bahwa Saudara Sulung ternyata pernah menjadi Dekan, sesudah beliau tak lagi menjadi Dekan. Sekian tahun Saudara Sulung berusaha sangat ketat untuk menyembunyikan “aib”nya itu.
Kami juga tidak bisa memahami kalau Saudara Sulung lantas berjuang meningkatkan “aib”nya. Karena dua sebab. Yang pertama, kami tidak punya jenis “gen” seperti itu dan atmosfir budaya keluarga kami tidak menyuburkan kecenderungan semacam itu. Saya ragu apakah almarhumah Ibu kami yang dipanggil Allah beberapa bulan yang lalu dalam hidupnya sempat mendengar tentang “aib” putra sulungnya.
Se7 Tauhîd Ilallâh
Yang kedua, Saudara Sulung sangat menikmati angka “7”. Hari bulan tahun kelahirannya, berbagai peristiwa dalam hidupnya, membuatnya ikhlas, bangga dan menikmati level “7”. Allah juga “nggodain” Saudara Sulung dengan Ummul Kitab yang ayatnya berjumlah 7, belum lagi sab’a samâwât dan berbagai gejala-7 lain dalam kehidupan. Tentu saja tidak ada “klenik-7”. Angka 7 hanya pintu apresiasi dan cinta. Orang boleh menyayangi Gajah karena awal mulanya tertarik pada belalainya. Angka 7 bukan Allah, angka 7 hanya jalan yang indah menuju Allah. Dan jalan cinta kepada Allah boleh 7, boleh 12345689, boleh cacing, boleh ekor burung merak, boleh notasi lagu, boleh cangkul dan linggis. Silahkan pilih atau tak pilih madzhab, silahkan masuk Muhammadiyah atau NU, silahkan mau Sunni, mau Syiah, Si-B, Si-C, asalkan 7annya adalah tauhîd ilallâh.
Tapi biarlah Saudara Sulung sendiri yang menguraikan hal-hal mengenai “7” itu. Kalau saya yang menjelaskan, bisa bocor dan bias, nanti semua pada pusing kepala, sehingga terpaksa beli Bintang-7. Puncak kedamaian dan kemashlahatan dalam kehidupan adalah perse7an semua manusia atas haqqullâh. Kalau yang terjadi adalah perse8an atau per9an, menjadi berlebihan, lâ tusrifû, maka menimbulkan kemudharatan. 7 itu “sedengan”, khairul umûri ausathuha, ummatan wasathan.
Semakin banyak yang tidak se7, semakin banyak bentrok, tawur dan perang. Indonesia adalah mentalitas dan rasa percaya diri melorot jauh ke bawah 7, tapi nafsunya jauh melampaui 7, bahkan banyak yang 10 pun tak cukup: korupsi tidak 10-20%, kalau bisa minimal 70-90%. Syukur-syukur sebelum diprosentase, dari hasil seratus sekian BUMN, sudah bisa diambil 300-400% dihitung dari jumlah yang nanti dianggarkan, sisanya baru masuk APBN.
Saudara Sulung, rumahnya, seluruh kekayaannya, berada pada level 7 dibanding rata-rata Dosen, dan bisa seper-7 bahkan seper-70 dibanding penghasilan seorang perwira rendah Polisi tertentu.
Yang kedua, Saudara Sulung sangat menikmati angka “7”. Hari bulan tahun kelahirannya, berbagai peristiwa dalam hidupnya, membuatnya ikhlas, bangga dan menikmati level “7”. Allah juga “nggodain” Saudara Sulung dengan Ummul Kitab yang ayatnya berjumlah 7, belum lagi sab’a samâwât dan berbagai gejala-7 lain dalam kehidupan. Tentu saja tidak ada “klenik-7”. Angka 7 hanya pintu apresiasi dan cinta. Orang boleh menyayangi Gajah karena awal mulanya tertarik pada belalainya. Angka 7 bukan Allah, angka 7 hanya jalan yang indah menuju Allah. Dan jalan cinta kepada Allah boleh 7, boleh 12345689, boleh cacing, boleh ekor burung merak, boleh notasi lagu, boleh cangkul dan linggis. Silahkan pilih atau tak pilih madzhab, silahkan masuk Muhammadiyah atau NU, silahkan mau Sunni, mau Syiah, Si-B, Si-C, asalkan 7annya adalah tauhîd ilallâh.
Tapi biarlah Saudara Sulung sendiri yang menguraikan hal-hal mengenai “7” itu. Kalau saya yang menjelaskan, bisa bocor dan bias, nanti semua pada pusing kepala, sehingga terpaksa beli Bintang-7. Puncak kedamaian dan kemashlahatan dalam kehidupan adalah perse7an semua manusia atas haqqullâh. Kalau yang terjadi adalah perse8an atau per9an, menjadi berlebihan, lâ tusrifû, maka menimbulkan kemudharatan. 7 itu “sedengan”, khairul umûri ausathuha, ummatan wasathan.
Semakin banyak yang tidak se7, semakin banyak bentrok, tawur dan perang. Indonesia adalah mentalitas dan rasa percaya diri melorot jauh ke bawah 7, tapi nafsunya jauh melampaui 7, bahkan banyak yang 10 pun tak cukup: korupsi tidak 10-20%, kalau bisa minimal 70-90%. Syukur-syukur sebelum diprosentase, dari hasil seratus sekian BUMN, sudah bisa diambil 300-400% dihitung dari jumlah yang nanti dianggarkan, sisanya baru masuk APBN.
Saudara Sulung, rumahnya, seluruh kekayaannya, berada pada level 7 dibanding rata-rata Dosen, dan bisa seper-7 bahkan seper-70 dibanding penghasilan seorang perwira rendah Polisi tertentu.
“Mikul Dhuwur, Mendhem Jero”
Dan hari ini, Saudara Sulung, menurut bahasa resmi: dilepas dari tugasnya karena memasuki masa pensiun. Ini hari yang sangat seru, dan pasti diperhatikan secara khusus oleh Tuhan seru sekalian alam. Tuhan suruh manusia mencari ilmu sepanjang hidupnya, dan ketika si “Loket Ilmu” mencapai puncak kematangan ilmunya, malah Saudara Sulung ditutup loketnya.
Di dalam peradaban dan sistem kapitalisme, semakin tua usia tenaga kerja, semakin rendah ketrampilan dan daya produktifnya. Maka ada saat di mana produktivitas seseorang melorot hingga ke titik nadir, ia dikasih pesangon dan dipersilahkan hidup enak di rumahnya sendiri atau oleh anak-anaknya dipindah ke rumah jompo. Peradaban Kapitalisme tidak mengenal “mikul dhuwur mendhem jero”. Karena kapitalisme hanya kenal “kapital”, tidak kenal manusia. Tetapi insyaallah para pengajar yang lain dan sahabat-sahabat kemanusiaan Si Pensiun menjunjung dan menerapkan filosofi tinggi dan mulia “mikul dhuwur mendhem jero”, tapi Universitas tidak punya formula untuk itu.
Indonesia mungkin adalah sebuah perusahaan kapitalisme raksasa, dan UM adalah sub-company kecil yang tidak bisa mengelak untuk wajib memberhentikan salah seorang buruhnya dari tugas menyalurkan ilmu Allah, justru ketika yang bersangkutan berada pada usia yang makin matang untuk tugas keilmuan. Ahmad Fuad Effendy adalah mantan pengajar “materi” Bahasa Arab. Yang didistribusikan oleh Universitas adalah “materi”, “kapital”. Filosofi dan ideologi yang dipilih dan diselenggarakan adalah materialisme, maka unsurnya selalu disebut “materi”. Itu resmi. Dengan pertimbangan filosofis dan epistemologis yang sangat disadari, bukan “sekedar istilah”.
Materi Diskusi Kita Apa? Tuhan
Dr. Nursamad Kamba, alumnus Universitas Al-Azhar Cairo, sahabat ilmu Saudara Sulung, pernah menuturkan kepada saya tentang lima tingkatan nilai-nilai peradaban: ‘Aqlul hawâs, ‘Aqlul hifzh, ‘Aqlul khayâl, ‘Aqlul fikr dan ‘Aqlul fa’âl. Kita permudah saja idiomatik itu dengan urutan: 1. Materi. 2. Memori. 3. Imaginasi. 4. Pemikiran. 5. Pekerja. Yang terakhir ini mestinya mengacu pada Fa’âlul-limâ yurîd: Allah Maha Pekerja atas apapun yang Ia kehendaki.
Peradaban ummat manusia abad 20-21 menyeret empat level – hifzh, khayal, fikr dan fa’al — ke level peradaban ‘Aqlul hawas. Peradaban Ilmu Katon, yang sejak nenek moyang kita hal itu dianggap sepele, gampang dan rendah. Semua kesibukan software dan rohani manusia diabdikan ke materialism, kapitalisme. Sekarang dengan watak Liberalisme, bahkan Neo-Liberalisme, segera memasuki Ultra-Liberalisme. Puncak substansi nilainya terletak pada pandangan bahwa Tuhan adalah materi, sehingga semua unsur dan limpahan dari Tuhan dimaterikan, dikapitalisasikan. Seluruh dan kemenyeluruhan al’arsy al’azhîm yang agung, utuh, dahsyat, berdimensi-dimensi, dan bahkan hakekat kenyataan hidup ini sedemikian dekatnya dengan “laisa kamitslihi syai’un” – dikerdilkan, disempitkan, didangkalkan, disepelekan menjadi hanya “materi”. Apa materi diskusi kita hari ini? Tuhan.
Perusahaan Universitas menimpakan kepada dirinya masalah besar dan konflik yang sangat serius dengan Tuhan. Tuhan mengajari manusia “merohanikan materi”, universitas “yakidû kaida” bahkan “wa makarû” dengan pendidikan “mematerikan rohani”. Tuhan bikin manusia agar menempuh “shirâthal mustaqîm” melalui dunia, Universitas menyeret manusia untuk “mencapai Dunia”, karena puncak sukses adalah pencapaian keduniaan. Terbalik “wasîlah” dan “ghâyah” menurut Tuhan dengan menurut Universitas.
Tapi tak masalah, karena toh Rektor, Dekan, Dosen, Mahasiswa dan Karyawan: rajin bikin pengajian. Juga karena sebenarnya kalau para intelektual dan akademisi menyebut kata “materi”, maksudnya adalah “a thing” atau “something”, “sesuatu”. Hanya saja beliau-beliau kurang menjaga denotasinya. “Materi” yang dimaksudkan sebenarnya bersifat “cair”, tapi akhirnya menjadi “padatan”. Dan tidak ada kewaspadaan intelektual tatkala kata “materi” melembaga ke “materialisme” yang bersifat sangat ideologis dan menjajah.
Sekolah dan Universitas mempersiapkan siswa dan mahasiswanya untuk memiliki sudut pandang, sisi pandang, dan jarak pandang terhadap materi. Tidak dipersiapkan untuk mereka metodologi untuk memandang yang non-materi, bahkan secara akademis yang non-materi itu disimpulkan sebagai tidak ada, unbeing. Tidak ada keperluan substansial untuk bekerja sama dengan “murid” (arâda, yurîdu), orang yang menghendaki dan memburu ilmu. Masyarakat mengirim anak-anaknya ke PT Universitas dengan biaya mahal agar menjadi “Peserta Didik”, menjadi konsumen jual beli materi ilmu.
Universitas adalah Toko Grosir. Adalah pusat kulakan materi-materi yang berupa kumpulan kata dan kalimat yang disangka ilmu. Salah satu gunanya adalah untuk melegalisir status bahwa masyarakat lebih bodoh dari mereka, lebih rendah derajat sosialnya, serta harus patuh kepada pasal-pasal dusta yang mereka karang melalui gengsi Kelas Menengah dan kekuasaan bernegara. Sejarah masyarakat dan bapak-ibu mereka tidak mengandung kebenaran apapun, karena posisi mereka adalah untuk dikursus dan ditimpa kebenaran putra-putrinya yang telah menjadi agen penguasa “ilmu” dunia global. Putra-putri masyarakat itu dihibur hatinya dengan pemberian gelar Sarjana, S-2 lebih primer daripada naik Haji, S-3 adalah sorga yang membuat pelakunya tidak perlu berpikir apa-apa lagi. Padahal Universitas tidak ada. Yang adalah Paguyuban Fakultas-Fakultas, yang mencetak Sarjana-Sarjana fakultatif. Bukan Sarjana Universal.
Dr. Nursamad Kamba, alumnus Universitas Al-Azhar Cairo, sahabat ilmu Saudara Sulung, pernah menuturkan kepada saya tentang lima tingkatan nilai-nilai peradaban: ‘Aqlul hawâs, ‘Aqlul hifzh, ‘Aqlul khayâl, ‘Aqlul fikr dan ‘Aqlul fa’âl. Kita permudah saja idiomatik itu dengan urutan: 1. Materi. 2. Memori. 3. Imaginasi. 4. Pemikiran. 5. Pekerja. Yang terakhir ini mestinya mengacu pada Fa’âlul-limâ yurîd: Allah Maha Pekerja atas apapun yang Ia kehendaki.
Peradaban ummat manusia abad 20-21 menyeret empat level – hifzh, khayal, fikr dan fa’al — ke level peradaban ‘Aqlul hawas. Peradaban Ilmu Katon, yang sejak nenek moyang kita hal itu dianggap sepele, gampang dan rendah. Semua kesibukan software dan rohani manusia diabdikan ke materialism, kapitalisme. Sekarang dengan watak Liberalisme, bahkan Neo-Liberalisme, segera memasuki Ultra-Liberalisme. Puncak substansi nilainya terletak pada pandangan bahwa Tuhan adalah materi, sehingga semua unsur dan limpahan dari Tuhan dimaterikan, dikapitalisasikan. Seluruh dan kemenyeluruhan al’arsy al’azhîm yang agung, utuh, dahsyat, berdimensi-dimensi, dan bahkan hakekat kenyataan hidup ini sedemikian dekatnya dengan “laisa kamitslihi syai’un” – dikerdilkan, disempitkan, didangkalkan, disepelekan menjadi hanya “materi”. Apa materi diskusi kita hari ini? Tuhan.
Perusahaan Universitas menimpakan kepada dirinya masalah besar dan konflik yang sangat serius dengan Tuhan. Tuhan mengajari manusia “merohanikan materi”, universitas “yakidû kaida” bahkan “wa makarû” dengan pendidikan “mematerikan rohani”. Tuhan bikin manusia agar menempuh “shirâthal mustaqîm” melalui dunia, Universitas menyeret manusia untuk “mencapai Dunia”, karena puncak sukses adalah pencapaian keduniaan. Terbalik “wasîlah” dan “ghâyah” menurut Tuhan dengan menurut Universitas.
Tapi tak masalah, karena toh Rektor, Dekan, Dosen, Mahasiswa dan Karyawan: rajin bikin pengajian. Juga karena sebenarnya kalau para intelektual dan akademisi menyebut kata “materi”, maksudnya adalah “a thing” atau “something”, “sesuatu”. Hanya saja beliau-beliau kurang menjaga denotasinya. “Materi” yang dimaksudkan sebenarnya bersifat “cair”, tapi akhirnya menjadi “padatan”. Dan tidak ada kewaspadaan intelektual tatkala kata “materi” melembaga ke “materialisme” yang bersifat sangat ideologis dan menjajah.
Sekolah dan Universitas mempersiapkan siswa dan mahasiswanya untuk memiliki sudut pandang, sisi pandang, dan jarak pandang terhadap materi. Tidak dipersiapkan untuk mereka metodologi untuk memandang yang non-materi, bahkan secara akademis yang non-materi itu disimpulkan sebagai tidak ada, unbeing. Tidak ada keperluan substansial untuk bekerja sama dengan “murid” (arâda, yurîdu), orang yang menghendaki dan memburu ilmu. Masyarakat mengirim anak-anaknya ke PT Universitas dengan biaya mahal agar menjadi “Peserta Didik”, menjadi konsumen jual beli materi ilmu.
Universitas adalah Toko Grosir. Adalah pusat kulakan materi-materi yang berupa kumpulan kata dan kalimat yang disangka ilmu. Salah satu gunanya adalah untuk melegalisir status bahwa masyarakat lebih bodoh dari mereka, lebih rendah derajat sosialnya, serta harus patuh kepada pasal-pasal dusta yang mereka karang melalui gengsi Kelas Menengah dan kekuasaan bernegara. Sejarah masyarakat dan bapak-ibu mereka tidak mengandung kebenaran apapun, karena posisi mereka adalah untuk dikursus dan ditimpa kebenaran putra-putrinya yang telah menjadi agen penguasa “ilmu” dunia global. Putra-putri masyarakat itu dihibur hatinya dengan pemberian gelar Sarjana, S-2 lebih primer daripada naik Haji, S-3 adalah sorga yang membuat pelakunya tidak perlu berpikir apa-apa lagi. Padahal Universitas tidak ada. Yang adalah Paguyuban Fakultas-Fakultas, yang mencetak Sarjana-Sarjana fakultatif. Bukan Sarjana Universal.
Matahari Terbit dari Barat
Di Universitas mereka diajari bahwa matahari terbit dari Barat. Asal usul seluruh ilmu, pengetahuan, penemuan, teknologi dan peradaban, adalah Barat. Semua yang di Timur itu bodoh, melarat, kumuh, kampungan, bloon, bego, tidak percaya pada dirinya sendiri. Maka penduduk Timur harus diberadabkan, harus dijajah untuk dijadikan civilized, diajari pakai kancut, celana, jas, dasi, dengan busa mulut yang bermuatan bahasa Barat meskipun sepotong-sepotong. 300 tahun sudah penduduk Timur dicuci otaknya, disirnakan kepribadiannya, dipendam sejarah masa silamnya, diperbudak trilogi politik perekonomian dan kebudayaannya.
Bangsa Indonesia Jawa yang untuk satu peristiwa kecil punya sebutan tibo, rutuh, njungkel, nggeblag, nylorot, njengkang, kesosor, njungkir, nyungsep dst merasa lebih bodoh dan tertinggal dari bangsa yang hanya punya satu kata falling down untuk peristiwa yang sama. Bangsa yang peradabannya sudah mencapai detail pari, gabah, beras, sego, memperbudak dirinya kepada bangsa yang hanya punya rice. Bangsa Indonesia tiba-tiba bikin Negara dan Republik, karena tidak berani mencari dan menjadi dirinya sendiri. Kaum intelektual berpikir bahwa Kerajaan itu kuno, otoriter dan diktator. Seakan-akan bisa diselenggarakan kehidupan bersama tanpa otoritas dan diktat hukum.
Otoritarianisme dan diktatorisme adalah suatu tata kehidupan di mana rakyat tidak memiliki daya tawar atas kedaulatannya. Hari ini rakyat Indonesia tidak punya bargaining power terhadap wakil-wakilnya sendiri, terhadap Presiden dan seluruh jajaran pemerintahannya. Kalau yang otoriter-diktator hanya satu Raja dan sejumlah Ponggawa, agak sederhana caranya melawan. Tapi kalau yang diktator adalah Presiden dengan sekian premannya, sekian Menteri dengan ratusan dan ribuan pegawai jajarannya, Dewan Perwakilan yang berlapis-lapis sampai ke strata bawah, dst – sangat ruwet dan butuh ekstra energi untuk memberontakinya.
Kalau dalam Kerajaan, diktatornya sendirian. Kalau dalam Republik Demokrasi, diktatornya rombongan.
Di Universitas mereka diajari bahwa matahari terbit dari Barat. Asal usul seluruh ilmu, pengetahuan, penemuan, teknologi dan peradaban, adalah Barat. Semua yang di Timur itu bodoh, melarat, kumuh, kampungan, bloon, bego, tidak percaya pada dirinya sendiri. Maka penduduk Timur harus diberadabkan, harus dijajah untuk dijadikan civilized, diajari pakai kancut, celana, jas, dasi, dengan busa mulut yang bermuatan bahasa Barat meskipun sepotong-sepotong. 300 tahun sudah penduduk Timur dicuci otaknya, disirnakan kepribadiannya, dipendam sejarah masa silamnya, diperbudak trilogi politik perekonomian dan kebudayaannya.
Bangsa Indonesia Jawa yang untuk satu peristiwa kecil punya sebutan tibo, rutuh, njungkel, nggeblag, nylorot, njengkang, kesosor, njungkir, nyungsep dst merasa lebih bodoh dan tertinggal dari bangsa yang hanya punya satu kata falling down untuk peristiwa yang sama. Bangsa yang peradabannya sudah mencapai detail pari, gabah, beras, sego, memperbudak dirinya kepada bangsa yang hanya punya rice. Bangsa Indonesia tiba-tiba bikin Negara dan Republik, karena tidak berani mencari dan menjadi dirinya sendiri. Kaum intelektual berpikir bahwa Kerajaan itu kuno, otoriter dan diktator. Seakan-akan bisa diselenggarakan kehidupan bersama tanpa otoritas dan diktat hukum.
Otoritarianisme dan diktatorisme adalah suatu tata kehidupan di mana rakyat tidak memiliki daya tawar atas kedaulatannya. Hari ini rakyat Indonesia tidak punya bargaining power terhadap wakil-wakilnya sendiri, terhadap Presiden dan seluruh jajaran pemerintahannya. Kalau yang otoriter-diktator hanya satu Raja dan sejumlah Ponggawa, agak sederhana caranya melawan. Tapi kalau yang diktator adalah Presiden dengan sekian premannya, sekian Menteri dengan ratusan dan ribuan pegawai jajarannya, Dewan Perwakilan yang berlapis-lapis sampai ke strata bawah, dst – sangat ruwet dan butuh ekstra energi untuk memberontakinya.
Kalau dalam Kerajaan, diktatornya sendirian. Kalau dalam Republik Demokrasi, diktatornya rombongan.
Menuju, Menjadi, Memperoleh “Hati Sorga”
Tentu saja saya pribadi, Saudara Sulung dan kami semua tidak ada masalah dengan Republik atau Kerajaan, Persemakmuran atau Federasi, atau apapun. Kami diam-diam mempelajari transformasi formula kenegaraan dari Majapahit ke Demak, Pajang, Mataram hingga Indonesia hari ini, serta segala kemungkinan yang kami gali dari sebanyak mungkin sumber-sumber nilai dan bahan-bahan sejarah.
Itu bukan karena kami tergolong Negarawan, Guru Bangsa atau Pemerintah. Tetapi karena aktivisme bahasa al-Quran Saudara Sulung harus sampai pada tahap memverifikasi secara qur’ani hal-hal terpenting yang menyangkut kehidupan orang banyak, khususnya Ummat Islam dan bangsa Indonesia.
Dalam skala sekecil apapun Saudara Sulung memimpin kami semua untuk menyelenggarakan proses transformasi atas setiap kemungkinan peradaban yang berlangsung agar bergerak menuju atau menjadi atau memperoleh “hati sorga”. Min adab-idDunya ila Fuad-ilJannah.
Tentu saja saya pribadi, Saudara Sulung dan kami semua tidak ada masalah dengan Republik atau Kerajaan, Persemakmuran atau Federasi, atau apapun. Kami diam-diam mempelajari transformasi formula kenegaraan dari Majapahit ke Demak, Pajang, Mataram hingga Indonesia hari ini, serta segala kemungkinan yang kami gali dari sebanyak mungkin sumber-sumber nilai dan bahan-bahan sejarah.
Itu bukan karena kami tergolong Negarawan, Guru Bangsa atau Pemerintah. Tetapi karena aktivisme bahasa al-Quran Saudara Sulung harus sampai pada tahap memverifikasi secara qur’ani hal-hal terpenting yang menyangkut kehidupan orang banyak, khususnya Ummat Islam dan bangsa Indonesia.
Dalam skala sekecil apapun Saudara Sulung memimpin kami semua untuk menyelenggarakan proses transformasi atas setiap kemungkinan peradaban yang berlangsung agar bergerak menuju atau menjadi atau memperoleh “hati sorga”. Min adab-idDunya ila Fuad-ilJannah.
Bahasa Kaum Yang Menang
Kalau soal bahasa komunikasi internasional, bahasa apa yang paling popular dan dipakai, itu soal kemenangan dalam pertarungan supremasi sejarah. Bahasa Internasional adalah bahasa jaringan bangsa yang menang, di samping pada level-level yang tidak primer tentu saja ada pertimbangan pragmatisme kebahasaan. Seandainya Hitler menang, supremasi kebangsaan dan kebahasaan di Amerika Serikat dan Eropa tidak seperti yang kita alami sekarang. Bahkan seluruh muatan pemikiran, ideologi, cara beragama, rasa kebudayaan dan jenis teknologi, juga tidak sebagaimana yang kita kenyam sekarang.
Kalau pada suatu hari Allah mengizinkan masyarakat Amerika dan Eropa memasuki dan mengikhlasi logika tauhid; tidak bisa lagi mengelak dari fakta kebenaran al-Quran; beribadah kepada Tuhan tidak “mengarang” sendiri karena sudah punya terminologi tentang ibadah mahdlah dan ibadah mu’amalah; hasad-nya kepada kebesaran Muhammad SAW mengkonversi jadi cinta dan kekaguman; memperoleh pemahaman yang obyektif dan proporsional (empan papan) tentang konteks jihad, syahid, qitâl, Allahu Akbar; mau belajar membedakan posisi yang tidak sama antara agama, syariat, madzhab, fiqih, aliran, ormas, golongan, sekte, termasuk antara Qur’an dengan hadits, antara hadits dengan hadits-haditsan, dst – maka “ro’aitannâsa yadkhulûna fî dînillâhi afwâja”, termasuk di dalamnya penduduk Bumi berduyun-duyun menikmati bahasa al-Quran.
Saudara Sulung adalah pemimpin kami semua untuk menikmati kepemimpinan Allah, Rasulullah dan al-Quran di hari esok di muka Bumi yang Allah meletakkan Khalifatullah padanya. Akan tetapi kalau kenikmatan itu belum menjadi kenyataan hingga hari terakhir jatah hidup kita, tak masalah, karena kita sudah menjadi bagian yang aktif dari iradah Allah, cinta Rasulullah dan pekerjaan suci al-Quran. Otoritas dan fakta “innâ nahnu nazzalnadz-dzikrâ wa inna lahû lahâfizhûn” adalah otoritas, kekuatan dan fakta yang tak bisa dilawan oleh siapapun dan apapun.
Berada dalam keyakinan itu saja sudah merupakan kebahagiaan yang tiada tara.
Yogya 15 Nopember 2012
Muhammad Ainun Nadjib
Kalau soal bahasa komunikasi internasional, bahasa apa yang paling popular dan dipakai, itu soal kemenangan dalam pertarungan supremasi sejarah. Bahasa Internasional adalah bahasa jaringan bangsa yang menang, di samping pada level-level yang tidak primer tentu saja ada pertimbangan pragmatisme kebahasaan. Seandainya Hitler menang, supremasi kebangsaan dan kebahasaan di Amerika Serikat dan Eropa tidak seperti yang kita alami sekarang. Bahkan seluruh muatan pemikiran, ideologi, cara beragama, rasa kebudayaan dan jenis teknologi, juga tidak sebagaimana yang kita kenyam sekarang.
Kalau pada suatu hari Allah mengizinkan masyarakat Amerika dan Eropa memasuki dan mengikhlasi logika tauhid; tidak bisa lagi mengelak dari fakta kebenaran al-Quran; beribadah kepada Tuhan tidak “mengarang” sendiri karena sudah punya terminologi tentang ibadah mahdlah dan ibadah mu’amalah; hasad-nya kepada kebesaran Muhammad SAW mengkonversi jadi cinta dan kekaguman; memperoleh pemahaman yang obyektif dan proporsional (empan papan) tentang konteks jihad, syahid, qitâl, Allahu Akbar; mau belajar membedakan posisi yang tidak sama antara agama, syariat, madzhab, fiqih, aliran, ormas, golongan, sekte, termasuk antara Qur’an dengan hadits, antara hadits dengan hadits-haditsan, dst – maka “ro’aitannâsa yadkhulûna fî dînillâhi afwâja”, termasuk di dalamnya penduduk Bumi berduyun-duyun menikmati bahasa al-Quran.
Saudara Sulung adalah pemimpin kami semua untuk menikmati kepemimpinan Allah, Rasulullah dan al-Quran di hari esok di muka Bumi yang Allah meletakkan Khalifatullah padanya. Akan tetapi kalau kenikmatan itu belum menjadi kenyataan hingga hari terakhir jatah hidup kita, tak masalah, karena kita sudah menjadi bagian yang aktif dari iradah Allah, cinta Rasulullah dan pekerjaan suci al-Quran. Otoritas dan fakta “innâ nahnu nazzalnadz-dzikrâ wa inna lahû lahâfizhûn” adalah otoritas, kekuatan dan fakta yang tak bisa dilawan oleh siapapun dan apapun.
Berada dalam keyakinan itu saja sudah merupakan kebahagiaan yang tiada tara.
Yogya 15 Nopember 2012
Muhammad Ainun Nadjib
Publisher : CakNun.com
Tentang Penulis: Muhammad Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) melakukan dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.