Perubahan sosial dan budaya menuju keadilan, kesejahteraan,
kesetaraan dan kemakmuran bangsa, bisa dimulai dari penggalangan jamaah.
Tidak harus dalam cakupan besar (kolosal) dan luas, melainkan kecil
namun intens dan bermakna dalam membangun jamaah. Penggalangan jamaah
harus dipahami sebagai gerakan budaya yang syaratnya terbebas dari
kehendak serba kuasa dan nafsu megalomania. Gerakan kebudayaan tidak
selamanya identik dengan gerakan berskala besar mencakup wilayah luas,
atau bahkan tidak selamanya harus merupakan gerakan serempak beberapa
kelompok jamaah dalam satu kawasan tertentu.
Tulisan ini saya awali dengan peristiwa akbar yang dituturkan tiga
kitab suci dari sumber yang sama: Taurat, Injil dan Quran. Ini adalah
kisah tentang Musa dan para pengikutnya, para budak Ibrani, yang
berjuang melawan kezaliman salah satu tiran terbesar dalam sejarah
peradaban: Fira’un.
Dikisahkan, Para Penguasa Mesir Purba yang menyatakan diri sebagai
penjelmaan Tuhan di muka bumi itu, merasa berkuasa mutlak untuk berbuat
sesuka hati terhadap siapa dan apa saja. Bahkan mereka pun memperisteri
ibu kandungnya sendiri, karena menganggapnya sebagai harta warisan dari
para ayah mereka.
Rakyat Mesir pun menjadi hamba sahaya yang serba melayani nafsu
angkara para Fira’un. Tetapi, penduduk Mesir yang paling menderita
adalah orang-orang Ibrani yang diperlakukan sewenang-wenang sebagai
budak belian yang diperjualbelikan dan dipaksa melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat, kasar dan kotor. Mereka dihinakan seperti
binatang atau lebih buruk dari hewan piaraan.
Alkisah, suatu saat lahir seorang anak lelaki di antara para budak
Ibrani tersebut. Namanya: Musa. Pada awalnya, Musa tumbuh dewasa menjadi
seorang peragu. Ia suka menyendiri. Namun, akhirnya Musa memenangkan
“suara nurani” nya (baca: wahyu atau ilham Ilahi) untuk melakukan
tindakan nyata melawan penindasan Fira’un. Ia pun tidak lagi hanya
berkeluh-kesah dan meratap, terkadang menyumpah sendirian di pucuk-pucuk
bukit sepi di luar kota. Ia mulai mengajak kaumnya menggalang kekuatan
bersama, bersatu-padu, menentang kezaliman atas diri mereka. Musa
akhirnya berhasil meyakinkan kaumnya untuk berjuang membebaskan diri
dari cengkeraman sang tiran.
Namun, perlawanan itu bukan pilihan yang mudah. Kekuatan Fira’un
sangatlah digdaya dan tidak sebanding dengan kekuatan para penentangnya.
Para budak Ibrani itu tak mampu menghadapi bala kekuatan yang sangat
terlatih dan berperalatan lengkap. Tatkala mereka hampir tiba pada
puncak keputusasaan, Musa kembali mendengarkan bisikan hatinya bahwa ia
harus memimpin kaumnya keluar dari Tanah Mesir, menyeberangi Laut Merah
ke Gurun Sinai.
Rencana itu mendapat tantangan keras, bahkan cemoohan dan
pengkhianatan orang Ibrani sendiri. Bagaimana mungkin? Menyeberangi laut
hanya dengan berjalan kaki? Tetapi, Musa bersikeras dan membawa mereka
yang percaya, ke tepi Laut Merah. Maka, terjadilah apa yang kemudian
kita ketahui sekarang sebagai suatu “mukjizat”: Musa meletakkan
tongkatnya di atas permukaan air laut. Laut terbelah dua, menyisakan
satu lorong panjang kering ke daratan Gunung Sinai di seberangnya. Musa
berserta seluruh pengikutnya melenggang sepanjang lorong kering tersebut
menyeberangi Laut Merah ke “tanah yang dijanjikan” bagi mereka: tanah
kebebasan, alam kemerdekaan!
Saat orang terakhir dalam barisan panjang itu menjejakkan kakinya di
tepian Sinai, laut yang terbelah itu kembali menutup seperti semula.
Bala tentara Fira’un yang mengejar mereka tertahan, bahkan banyak pula
yang tenggelam.
Menuju Pembebasan
Inilah kisah indah tentang perjuangan sekelompok orang tertindas yang
bersatu padu berjuang untuk melakukan pembebasan diri mereka. Semangat
dan kerja keras mereka telah menciptakan “keajaiban”; sesuatu yang
semula tidak mungkin menjadi mungkin dan nyata. Laut persoalan pun
terbelah dan kemungkinan pun menjelma. Nyata.
Kisah ini mengilhami seorang organiser ulung zaman modern, Marthin
Luther King Jr. Ia menggerakkan kaum kulit hitam Amerika Serikat
melakukan long march ke ibukota Washington DC, yang akhirnya berhasil
meraih cita-cita perjuangan mereka sebagai warga negara yang setara
dengan kaum kulit putih. Pidato King bertajuk Membelah Laut
(Parting the Water) yang bersejarah itu, telah mengawali salah satu
gerakan hak-hak sipil terbesar di abad-20. King jelas-jelas mengutip
kisah perjuangan Musa bersama para pengikutnya.
Sejujurnya, saya bukanlah seorang beriman dan beragama yang saleh
seperti King, apalagi Musa. Tetapi, hal ini tidak menghalangi saya (atau
mereka yang sama sekali “tidak beragama” sekalipun) untuk belajar
khusuk dari hikmah kisah-kisah “hijrah” (eksodus) sejenis yang ada dalam
kitab-kitab suci itu. Misalnya, Yesus yang berjuang menyatukan
murid-murid dan para pengikutnya berbaris pergi menyaksikan mukjizat
kebangkitanNya kembali di Golgotta, pertanda pembebasan mereka. Atau
Muhammad yang memimpin para sahabat dan kaumnya melakukan hijrah untuk
membangun masyarakat dan peradaban baru di Madinah, awal kemerdekaan
mereka.
Menghayati kisah-kisah peting itu sama khusuknya ketika saya
menikmati kisah menggetarkan Siddharta Gautama yang menuntun para
pengikutnya pergi meninggalkan kemewahan palsu istana kerajaan ayahnya.
Atau, cerita seorang Gandhi yang melakukan perjalanan keliling India,
menghimpun jutaan kawula negeri itu melakukan boikot garam dan kain
tenun Manchester. Atau, tindakan Tjut Nyak Dien yang mengerahkan rakyat
Aceh keluar dari Kutaraja untuk mempertahankan kebebasan dan harga diri
mereka.
Mereka — Manusia-Manusia Besar itu, adalah para “penggalang” (organizers)
rakyat tertindas ke arah pembebasan dan pemerdekaan diri mereka.
Gerakan mereka berbeda dengan para kesatria seperti Julius Caesar, Ken
Arok, Lord Cromwell, Napoleon Bonaparte atau Soedirman. Begitu pula
dengan para pemimpin politik sekaligus pejuang revolusioner seperti
Simon Bolivar, Vladimir Lenin, Mao Tse Tung, Ho Chi Minh, Soekarno atau
Ayatollah Khomaeni. Para ksatria dan pejuang ini juga menggalang rakyat
untuk melakukan pembebasan, tetapi sekaligus suatu pertarungan dan
perebutan kekuasaan politik dan ideologi (partai atau negara).
Ada pun Musa, Yesus, Muhammad, Siddharta, Gandhi dan Tjut Nyak Dien
menggalang rakyat karena panggilan untuk mempertahankan matabat,
keyakinan-keyakinan dan hak-hak mereka sebagai suatu kaum. Kaum yang
mereka galang dan himpun itu tidak selalu mewujud dalam suatu partai
politik atau negara. Sehingga mereka tidak pula perlu melakukan
penaklukan atau penguasaan balik terhadap pihak-pihak yang menindas
hak-hak dan mengekang kemerdekaan mereka selama ini. Mereka bahkan
melakukannya tanpa pamrih pribadi.
Mereka tetap menyadari keterbatasan pribadi, taat asas pada prinsip
dan tujuan penggalangan rakyat yang sebenarnya. Pada saatnya, dengan
rendah hati mereka pun menyerahkan kekuasaan dan kepemimpinan mereka
kepada rakyat. Rakyat didorong untuk melanjutkan usaha yang telah mereka
rintis. Mereka pun akhirnya memilih mundur secara terhormat dan kembali
menjadi “orang biasa” atau melanjutkan kerja yang sama di tempat lain.
Begitulah tindakan yang pernah dilakukan oleh orang-orang seperti Che
Guevara, Julius Nyerere, Nelson Mandela, dan nampaknya juga (sejarah
yang akan membuktikan nanti) oleh Xanana Gusmao. Mereka adalah
orang-orang yang disebut oleh filosof Cina Purba, Lao Tze, sebagai para
penggalang rakyat yang rela mundur ketika perjuangannya telah mencapai
hasil. Mereka sangat memahami pernyataan rakyat, “Kami semua lah yang menyelesaikan sendiri pekerjaan ini”.
Gerakan Budaya
Berjuang merebut kekuasaan sangat berbeda dengan berjuang merebut
kedaulatan dan harga diri. “Berkuasa” atas orang lain jelas berbeda
dengan “berdaulat” atas diri sendiri. Jadi, penggalang jamaah berbeda
dengan tindakan merebut kekuasaan seperti yang dilakukan para pahlawan
atau para pemimpin politik. Pada awalnya, mereka adalah “Seorang biasa”
seperti kita yang berjuang bersama kaumnya menentukan pilihan sadar dan
bebas atas mereka sendiri. Yakni, pilihan untuk berdaulat penuh
memutuskan dan mengatur diri mereka sendiri. Bahwa rakyat atau kaum yang
digalangnya itu kemudian mendaulat mereka menjadi pahlawan, pemimpin,
bahkan penguasa baru, itu soal lain; misalnya kasus yang terjadi pada
pendiri dan pemimpin serikat buruh bebas “Solidarichnoz” di
Polandia, Lech Walesa. Bahwa setelah mereka telah menjadi pemimpin dan
penguasa kemudian terjebak dalam perangkap kekuasaan yang memabukkan dan
membuat lupa diri (ironi semacam ini memang sangat sering terjadi dalam
sejarah), itu adalah soal lain berikutnya lagi.
Dalam gerakan, nilai terpenting terkandung dalam niat perjuangan yang
tanpa “nafsu kekuasaan”, apalagi balas dendam, melainkan “semangat
pembebasan” untuk menjadi manusia atau kaum merdeka, tanpa harus
mengorbankan kemerdekaan pihak lain. Maka, menggalang jamaah harus
dipahami sebagai gerakan membangun tatanan nilai, keyakinan,
kepercayaan, sikap dan cara hidup merdeka dan berdaulat atas diri
sendiri. Ini dilakukan terutama bukan untuk merebut kekuasaan dan
kemudian berkuasa, apalagi untuk menguasai orang lain. Ibarat membangun
rumah, inilah landas pijak yang paling fundamental. Tanpa pondasi itu
mustahil mendirikan bangunan rumah yang kokoh di atasnya.
Karena itu, penggalangan jamaah harus dipahami sebagai “gerakan
budaya” yang harus terbebas dari kehendak serba kuasa dan nafsu
megalomania. Gerakan kebudayaan tidak selamanya identik dengan gerakan
berskala besar mencakup wilayah luas, atau bahkan tidak selamanya harus
merupakan gerakan serempak beberapa kelompok kaum dalam satu kawasan
tertentu.
Gerakan penggalangan jamaah bahkan memang harus dimulai, hanya pada
satu kelompok kecil orang (seberapa pun jumlahnya). Juga, tidak
selamanya harus dimulai dari sekelompok besar orang yang memiliki ikatan
kesamaan identitas sosial budaya (suku, kebangsaan atau agama), tetapi
bisa saja dimulai dari mereka yang hanya dipersatukan oleh ikatan
kesamaan tuntutan dan kehendak (kepentingan, minat, pekerjaan, atau
malah “nasib”) saja. Jumlah orang dan sebaran tempat bukanlah hal
terpenting di awal prakarsa penggalangan jamaah sebagai suatu gerakan
kebudayaan.
Fakta sejarah memperlihatkan, gerakan-gerakan kebudayaan yang kini
mendunia, yang bersifat keagamaan (seperti gerakan Musa, Yesus, Muhammad
dan Siddharta) maupun yang sekuler (seperti gerakan Koperasi nya Thomas
More, Komune Paris nya Proudhon dan kawan-kawan, Swadeshi-nya Gandhi),
justru berawal dari tindakan-tindakan kolektif dari sejumlah kecil orang
di suatu tempat tertentu. Gerakan itu pada mulanya merupakan gerakan
kelompok minoritas tertindas yang disepelekan oleh kelompok mayoritas
dan dinistakan kaum elite penguasa. Seandainya gerakan-gerakan
kebudayaan semacam itu tidak membawa dampak atau pengaruh mendunia,
paling tidak, ia berhasil menciptakan suatu identitas baru budaya dan
sosial yang unik dan bermartabat. Dalam hal inilah, kita patut menaruh
hormat pada gerakan-gerakan lokal tetapi monumental dan fenomenal,
bahkan menjadi legenda, seperti apa yang telah dilakukan oleh Geronimo,
Sandino, Sidi Mochtar, Malcolm X, Chico Mendes, Surontiko Samin, atau
gerakan-gerakan kolektif yang lebih mutakhir seperti Chipko di India,
Zapatista di Meksiko atau bahkan juga Kibbutz di Israel.
Dalam konteks gerakan-gerakan kolektif semacam ini, gerakan
kebudayaan itu sekaligus menjadi suatu “gerakan sosial” bagi semua orang
yang terlibat di dalamnya. Seringkali gerakan itu tanpa perlu ada
seorang pemimpin tunggal, melainkan kepemimpinan bersama dalam suatu
dewan atau lembaga permusyawaratan.
Gerakan penggalangan jamaah harus selalu bermula pada sekelompok
orang dan tempat yang khas. Gerakan itu harus dirancang secara sadar
untuk tujuan jangka panjang. Gerakan itu harus pula dipahami sebagai
suatu proses yang tak pernah selesai dan selalu bermula kembali (a commencement), bukan suatu gerakan khalayak sesaat tanpa titik-tolak dan jati diri yang jelas (anonymous and sporadic crowd).
Membangun Perkauman
Pada saat gerakan itu mulai membesar, meluas dan mulai diteladani
kelompok-kelompok lain di berbagai tempat atau dengan kata lain gerakan
itu telah muncul sebagai suatu gerakan sosial dalam arti yang
sesungguhnya, maka mulailah terbentuk himpunan-himpunan perkauman khas
yang mandiri dan otonom, memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri,
mengelola sumberdaya mereka sendiri, mengatur tata hidup dan
pemerintahan mereka sendiri, tanpa perlu atau harus mengorbankan
kemandirian dan otonomi kelompok atau kaum lainnya.
Himpunan-himpunan perkauman yang swadaya, swatantra, swakelola dan
swapraja semacam ini saling berhubungan satu sama lain secara organik
dan fungsional atas dasar azas saling menghormati, saling memberi
manfaat dan menerima maslahat bersama. Singkatnya, gerakan itu membentuk
sesuatu yang disebut jama’ah. Jama’ah terbentuk pertama kali dalam
satuan-satuan sosial terkecil setempat sebagai intinya, kemudian
menyebar dan berkembang menjadi himpunan-himpunan perkauman yang lebih
besar, tetapi tetap mempertahankan keunikan dan otonominya
masing-masing.
Menggalang jamaah ke arah pembentukan jama’ah yang kuat, berbeda bahkan berlawanan dengan membangun masyarakat politik (political society) atau negara (state)
yang menguasai, memiliki dan memaksakan suatu kekuasaan politik atas
warganya sendiri atau warga lain yang melahirkan faham penjajahan
(kolonialisme). Menggalang jamaah, membayangkannya sebagai suatu proses
untuk “merebut kekuasaan politik pemerintahan” atau “dalam rangka
membangun suatu negara yang kuat”, adalah suatu sesat-pikir yang
kacau-rancau. Membangun jama’ah, jelas berbeda dengan membangun negara.
Namun, penggalangan jamaah sebagai suatu gerakan kebudayaan,
sekaligus gerakan sosial, tidak berarti tanpa jelmaan menjadi suatu
“gerakan politik”. Tentu hal ini terjadi tanpa harus menjadi “jama’ah
politik”.
Jika politik kita maknai sebagai kedaulatan suatu kaum mengatur diri
sendiri dan membagi kemaslahatan bersama terhadap kaum lainnya melalui
pembangunan tatanan yang telah disepakati bersama maka perjuangan kaum
tersebut merupakan perjuangan politik. Yakni, mempertahankan diri dari
kaum lain (masyarakat politik atau negara), yang selalu berusaha merebut
dan menguasainya. Atau perjuangan politik itu bisa dimaknai sebagai
upaya merebut kembali kedaulatan mereka yang pernah direbut oleh kaum
lain (jadi, bukan merebut kedaulatan kaum lain itu). Tindakan ini
merupakan “politik masyarakat warga” (the politics of civil society), meskipun tanpa partai politik atau melalui kekuasaan negara.
Bisa jadi, dalam upaya mempertahankan dan/atau merebut kembali
kedaulatan tersebut, jamaah akhirnya dihadapkan pada pilihan
mempertahankan dan/atau merebutnya kembali dengan kekuatan senjata pula,
karena lawannya juga menggunakan kekuatan yang sama. Maka berubahlah
penggalangan jamaah yang semula merupakan gerakan kebudayaan, gerakan
sosial dan gerakan politik, menjadi “gerakan bersenjata” atau “gerakan
militer”. Lantas, apakah masih layak menyebutnya sebagai gerakan jamaah?
Jika gerakan bersenjata itu, setelah berhasil mencapai tujuan
utamanya mempertahankan dan/atau merebut kembali kedaulatan kaumnya,
mampu membuktikan dirinya tidak berubah menjadi kekuatan militer
penguasa baru untuk merebut kedaulatan kaum lain, lebih terpuji lagi
secara sukarela membubarkan diri kembali menjadi jamaah biasa, maka
jawabannya adalah “ya”. Tetapi, apakah itu mungkin? Bukankah sejarah
selama ini membuktikan bahwa ketika suatu pemberontakan rakyat
bersenjata mencapai kemenangan, mereka selalu lupa diri dan berubah
menjadi tentara penguasa baru yang seringkali lebih kejam katimbang
rezim yang digantikannya?
Pesimisme bahkan sinisme seperti itu pernah dijawab oleh Front
Sandinista. gerakan revolusioner masyarakat warga di Nikaragua. Ketika
Front Sandinista berhasil mencapai kemenangan pada tahun 1979 dengan
merebut kembali kedaulatan rakyat Nikaragua dari diktator militer
Jenderal Antonio Somoza, mereka akhirnya membubarkan pasukan milisia
mereka (umumnya para petani dan buruh miskin) dan kembali menjadi warga
sipil biasa. Mereka pun kemudian menghapuskan hukuman mati bagi para
pengikut Somoza, termasuk para algojo pembantai dari dinas rahasia dan
pasukan khusus pengawal pribadi sang diktator.
Sandinista (diambil dari nama Sandino, pemimpin gerakan petani
legendaris Amerika Latin) membuktikan diri sebagai gerakan revolusioner
modern pertama, sejak Revolusi Perancis pada tahun 1789, yang mencapai
kemenangan tanpa pelaksanaan hukuman mati, pancung leher atau regu
tembak. Salah seorang pendiri dan pemimpin utamanya, Tomas Borge,
mengumumkan: “Pembalasan dendam kita adalah pemberian maaf!“.
Ucapan ini persis seperti yang diucapkan dan dilakukan oleh Nelson
Mandela dengan Kongres Nasional Afrika (ANC) nya, setelah berhasil
merebut kembali kedaulatan warga kulit-hitam Afrika Selatan dari rezim
apartheid Partai Nasional. “Apa salahnya kami mempertahankan diri,
kedaulatan dan hak-hak kami, dengan menggunakan senjata? Mengapa kalian
tidak mempertanyakan mereka yang juga menggunakan senjata merebut
kedaulatan dan menindas hak-hak kami selama ini?”, sanggah
Commandante Marcos, pemimpin sayap bersenjata gerakan petani Zapatista
di Meksiko. Orang yang selalu bertopeng dan tidak jelas nama sebenarnya
ini (ada yang menyatakan bahwa Sang Komandan sebenarnya bukanlah satu
orang, tetapi beberapa orang secara bergantian sebagai cara untuk
mengelabui pemerintah dan pasukan tentara Meksiko) menyatakan
jaminannya: “Jika kami nanti berhasil memperoleh kembali kedaulatan
dan hak-hak kami, kami tidak akan melukai siapa pun. Tidak akan ada
pembalasan dendam. Kami akan menguburkan semua senjata kami, kembali
menjadi petani biasa seperti apa adanya kami selama ini”.
Sebuah Otokritik
Walhasil, kerja penggalangan jamaah merupakan pekerjaan yang sangat
kompleks, berjangka panjang dan melelahkan. Karena itu, mungkin yang
menyebabkan tidak banyak orang berminat melakukan pekerjaan ini secara
bersungguh-sungguh. Bahkan, di kalangan para aktivis yang mengaku
membela agama, Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) sendiri, lebih banyak
yang bergerak di bidang lain yang tidak membutuhkan cucuran keringat,
dan lebih memungkinkan hadir di pusat-pusat keramaian dan kekuasaan,
atau bidang-bidang lainnya yang lebih menjanjikan ketenaran pribadi,
katimbang benar-benar hidup dan bekerja langsung di tengah rakyat jelata
awam di tempat-tempat kusam, pengap, jauh, terpencil, dan umumnya tanpa
kecukupan sarana/prasarana, serta nyaris tak terliput oleh pemberitaan
media massa modern. Seringkali para aktivis itu mengaku melakukan
penggalangan, tetapi sebenarnya yang mereka lakukan adalah sekadar
“mengerahkan” (memobilisasi) rakyat melakukan tindakan-tindakan yang
dirancang oleh para aktivis itu sendiri.
Padahal, pengerahan massa semacam itu hanyalah salah satu bagian
terkecil dari keseluruhan proses penggalangan jamaah yang sesungguhnya.
Lebih mengenaskan lagi, ada banyak kasus di kalangan aktivis di
Indonesia selama ini yang, segera setelah suatu tindakan pengerahan
massa terjadi, mereka tidak melakukan apa-apa lagi, membiarkan rakyat
kebingungan sendirian,. Rakyat pun hanya bergerak jika para aktivis
datang lagi mengerahkan dan “memimpin” mereka. Faktanya, semakin banyak
Ormas tumbuh di mana-mana dan semakin kuat sebagai suatu organisasi,
bahkan semakin membesar sebagai suatu lembaga, tetapi tidak banyak
lembaga jamaah awam yang mereka kerahkan selama ini yang tumbuh menjadi
suatu jama’ah yang kuat, mandiri, berdaulat dan otonom.
Apa yang terjadi adalah para ORMAS yang mengaku menggalang jamaah
dengan retorika “pemberdayaan” (empowerment) tersebut, sebenarnya
“memberdayakan” atau “memperkuat dan memperbesar lembaga mereka
sendiri”.
Pengalaman menunjukkan bahwa kemencengan semacam ini terjadi
bukan terutama karena mereka tidak mengetahui bagaimana caranya
melakukan penggalangan jamaah secara baik dan benar, tetapi lebih
disebabkan oleh pemahaman yang agak keliru dan kabur mengenai
prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan asas dari penggalangan jamaah
itu sendiri.
Hampir semua aktivis di Indonesia selama ini berasal dari kalangan
terpelajar dan lapisan kelas menengah, umumnya para aktivis atau mantan
aktivis mahasiswa, yang selalu cenderung melihat diri mereka sebagai
“kelompok terpilih untuk memimpin” rakyat. Bisa dimaklumi kalau mereka
sangat gampang terjebak oleh apa yang disebut oleh salah seorang aktivis
senior dan pengamat gerakan sosial di Indonesia, Mansour Fakih (alm),
sebagai “kemencengan” (biases) akan posisi diri mereka sebagai
“pemimpin”, “pembela” atau bahkan “penyelamat” rakyat. Pemahaman yang
melenceng inilah yang membuat mereka juga melakukan proses-proses
penggalangan rakyat dengan cara-cara pengerahan massa serba sesaat dan
sporadik tanpa meletakkan dasar-dasar kelembagaan yang kuat dan berakar
di tengah rakyat.
Kembali pada amsal membangun rumah. Pondasi (pengertian,
prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan asas) yang lemah akan membuat
ringkih tegakan tiang, dinding, kerangka atap dan atap (strategi, metoda
dan media, teknik, perangkat kelembagaan).
Harus diakui bahwa berbagai kelemahan mendasar tersebut tidak
seluruhnya bersumber dari kemencengan pemahaman dan kemampuan teknis
metodologis dalam tubuh organisasi sendiri.
Dengan kata lain, para aktivis maiyah semakin dituntut untuk
menguasai kemampuan melakukan penggalangan jamaah langsung di tengah
basis pada tingkat lokal. Karena itu pula, mereka dituntut untuk
memahami benar prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan asas penggalangan
jamaah sebagai suatu gerakan kebudayaan, gerakan sosial dan gerakan
politik sekaligus yang selalu bermula dari sekelompok tertentu, orang
dan tempat yang jelas.
Demikianlah yang terjadi dalam sejarah. Musa memulainya dari
minoritas budak Ibrani di Mesir, Yesus memulainya dari sekelompok kecil
murid-muridnya yang percaya, Muhammad memulainya dari segelintir orang
yang disingkirkan oleh kaumnya di Mekah, Siddharta memulainya dari para
pelayannya sendiri, Gandhi memulainya dari kaum Harijan yang terhina,
dan seterusnya. Mereka semua mengubah dunia dengan tindakan-tindakan
nyata yang semula nampak biasa saja, bahkan pada mulanya disepelekan dan
dihinakan.
Penggalangan jamaah memang pada akhirnya adalah “kehendak untuk
bertindak dan tindakan itu sendiri untuk melakukan perubahan”, tidak
hanya sekadar asyik merenung, berfikir dan menganalisis apa yang terjadi
di dunia ini oleh tindakan-tindakan orang lain. Seperti kata seorang
lelaki yang terlahir dari satu keluarga penganut ajaran Musa, beberapa
abad kemudian di Trier, di lembah Rhein di Jerman, bahwa: “Orang-orang bijak dan pintar hanya menafsirkan dunia ini dalam berbagai cara, tetapi yang terpenting adalah merubah dunia!”.
Tindakan lah yang membuat sesuatu yang pada mulanya nampak sepele dan
kecil menjadi sesuatu yang besar dan bermakna, membuat sesuatu yang
semula nampak mustahil menjadi mungkin, ibarat si Musa yang membelah
laut itu.
Tentang Penulis: Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih anda sudah berkunjung ke Blog pencerahan ini, Semoga bermanfaat untuk kita semua. Silahkan berkomentar atau meninggalkan link teman-teman dengan santun peseduluran.